Selasa, 02 Juni 2015

Antara Gereja dan Sekolah Kristen



Antara Gereja dan Sekolah Kristen
Dr. Khoe Yao Tung, M.Sc.Ed, M.Ed.

            Suatu ketika saya terlibat diskusi dengan salah satu rekan pendidik, pembicaraan beralih pada campur aduknya peran sekolah Kristen dan gereja. Apakah sekolah menjalankan peran gereja dalam pembinaaan dan penginjilan anak, karena praksisnya sekolah Kristen selain melayani pendidikan namun juga melakukan pembinaan dan penginjilan, sesuatu hal yang sama yang dilakukan oleh gereja. Namun lebih lanjut ia menyatakan  bahwa sekolah Kristen lebih strategis dibanding gereja dalam membina kerohanian anak, terutama dalam memberitakan kabar baik (penginjilan). Hal ini didasari dari banyaknya interaksi guru kristen dalam keseharian kehidupan anak di sekolah. Sekolah Kristen memang memiliki kesempatan yang lebih baik dalam memberitakan kabar baik (mandat injil) bagi murid-muridnya. Lama waktu yang tersedia jauh lebih banyak dan intens terjadi di sekolah dibanding dengan gereja. Intensitas dan kesempatan inilah yang menjadi dasar dari pendapatnya ini, itupun kalau sekolah menjalankan peran sekolah Kristen yang ideal. Dialektika lantas mencuat, kalau begitu dimanakah peran gereja dalam penginjilan, lembaga mana yang paling bertanggung jawab memberitakan injil bagi anak apakah gereja ataukah sekolah? Apakah sekolah juga bertanggung jawab dalam memberitakan injil? Kalau begitu apakah sekolah Kristen mengambil alih peran gereja dalam tugasnya di masyarakat?           
            Menilik sejarah pendirian sekolah Kristen, banyak sekolah Kristen yang didirikan oleh gereja dan menjadi perpanjangtangan dari gereja untuk menjalankan amanat agung. Sekolah yang didirikan merupakan bagian dari gereja dalam menyampaikan mandat injil untuk dipergunakan sebagai bagian pelayanan gereja. Namun bukan hanya pelengkap saja,  atau “asal ada” bagi pelayanan Gereja. John Amos Comenius (1592-1670) memelopori pendekatan pelayanan pendidikan Kristen bukan sekadar ada, dan bukan bukan semata sebagai pelengkap pelayanan gerejawi di kalangan jemaat dan bukan sebagai bidang yang berdiri sendiri.[1] Sekolah Kristen harus berkualitas, memiliki standar pembinaan kerohanian dan akademik yang baik. Bila sekolah Kristen hanya sebagai pelengkap pelayanan gereja maka filosofi, misi, visi dan pengelolaan pendidikan Kristen tidak dapat dilakukan dengan pelayanan dengan sungguh-sungguh kepada Allah dan manusia. Namun demikian sekolah harus memposisikan dirinya tidak lebih penting dari gereja. Gereja harus dapat memberikan arahan, baik visi dan misi bagi pelayanan sekolah, dan bila tidak, sekolah Kristen tidak memiliki arahan pengajaran dan iman gereja dalam melaksanakan pelayanannya. Sekolahpun tidak mendapat dukungan dari jemaat gereja, yang sebagian besar adalah orang tua dari murid sekolah Kristen yang bersangkutan.
            Namun banyak sekolah Kristen yang didirikan atas inisiatif segelintir orang Kristen, ada sekolah yang tidak didirikan atas inisiatif gereja ataupun gereja lokal. Hal ini  sering menimbulkan permasalahan berkaitan dengan pengembangan pendidikan secara utuh berkaitan dengan spiritual dan kerohanian anak, sekolah tidak dapat berkembang pada suatu kesatuan pelayanan dalam tubuh Kristus. Visi dan misi sekolah tersebut dapat mengendur dan akhirnya cenderung menyimpang dari visi dan misi mulia yang mula-mula. Bila sekolah Kristen tersebut mengandeng gereja lokal, persoalan ini belum tentu selesai, karena akan banyak perbedaan perspektif, program, persoalan teknis, dan bahkan permasalahan administrasi yang tidak mudah, belum lagi kalau terjadi perbedaan doktrin antara gereja lokal dan sekolah Kristen. Relasi serta hubungan yang harmonis dan terpadu akan menjadi penentu bagi keberhasilan pengembangan pendidikan sekolah Kristen. Dukungan pengurus sekolah minggu, dan komisi remaja gereja dapat berkoordinasi dengan bidang kerohanian sekolah, bentuknya dapat saling mendukung dalam pelayanan, kegiatan bersama, kebangunan rohani, sekolah injil liburan dan layanan kerohanian gereja bagi sekolah.
           
Kontras antara gereja dan sekolah
            Perbedaan pendekatan pengajaran antara sekolah Kristen dan sekolah Alkitab, antara lain sekolah Kristen memberikan konteks yang luas akan liberal arts dalam hubungannya dengan subjek akademik. Peran sekolah Kristen lebih merupakan tempat yang baik bagi academic training dalam perspektif Kristen (termasuk di dalamnya Christian worldview) dan spiritual nurture dalam membentuk Christian mind dalam diri anak. Sekolah harus menjadi landscape yang menyediakan proses penginjilan berkaitan dengan spiritual formation dan spiritual nurture. Seperti argumen tentang perumpamaan garam dan terang dunia, sebelum kita memenangkan anak-anak bagi Kristus, kita harus berhenti kehilangan anak-anak itu bagi dunia. Di sekolah Kristen, kita mengajar identitas mereka di dalam Kristus sedemikian rupa sehingga mereka dapat merangkul identitasnya bagi Kristus. Kita harus menyediakan latihan dan Christian mind dalam subjek pembelajaran yang diajarkan agar terpola dalam dalam cara berpikir anak-anak di sekolah.       
            Peran dan tugas inti yang berbeda dalam pelayanan dengan tanggung jawab iman[2] namun merupakan satu kesatuan dalam tubuh Kristus, dengan Yesus Kristus di tengahnya.
Berikut rangkuman yang memberikan kontras pijakan dalam peran dan tanggung jawab bagi pelayanan yang Tuhan percayakan, namun dalam pelaksanaannya peran keduanya tak dapat dipisahkan dan dalam pelaksanaannya keduanya dapat saling tumpang tindih.
Tabel 1.[3]
Gereja
Sekolah Kristen
Preaching and evangelism
Spiritual formation
Christian faith
Spiritual nurture
Soul or spirit
Christian mind
Christian doctrine
Academic training in Christian worldview.
Learn faith and Bible
Learn subject from Christian perspective

            Namun demikian hubungan antara gereja dan sekolah Kristen menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan, kehadirannya saling memberikan sinergi. Gereja tak boleh melepaskan diri dari sekolah atau begitu juga sebaliknya. Eksistensi dari kehadiran sebuah sekolah Kristen adalah memperlengkapi dan mendukung peran gereja dalam tugas dan perannya dalam pengajaran. Francis Curran seorang guru besar sejarah pendidikan Amerika dalam the churches and the Shools mengatakan bahwa
“If the church withdraws from one division of education, the logical consequence will be the ultimate abandonment of all formal education by the church”[4]
Berkaitan dengan peran gereja dan sekolah, Paul Young mantan presiden dari Southern Baptist Educational Center di Missisipi menulis artikel yang berjudul “The Marriage of the Church and Christian School: Why they do Struggle?. Young menjelaskan bagaimana sekolah harus berkaitan dengan gereja dan bagaimana seharusnya posisi pendidikan Kristen mengambil tempat bersama gereja dengan berlandaskan filsafat pendidikan Kristen yang berdasarkan Alkitab. Young dengan tegas menyatakan bahwa sekolah Kristen harus benar-benar Kristen yang nyata. Young mengajukan lima pertanyaan refleksi untuk para pemimpin sekolah Kristen:[5]
·         Apakah sekolah lebih banyak menekankan pengetahuan akademis dibandingkan dengan kebenaran dalam Tuhan?
·         Apakah sekolah lebih banyak menekankan pengembangan kompetensi teknis dibandingkan dengan mengembangkan karakter kristiani?
·         Apakah sekolah lebih banyak membuat perencanaan dibandingkan dengan berdoa?
·         Apakah sekolah lebih menekankan aturan-aturan sekolah dibanding dengan prinsip-prinsip Alkitab?
·         Apakah sekolah lebih menekankan “curriculum-centered” dibandingkan dengan “teacher-centered”?

            Ketika sekolah dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas dari sudut pandang Alkitab. Sekolah akan dapat menemukan dirinya dalam relasi yang kuat dengan kebenaran. Prinsip pendidikan Kristen menjadi fondasi yang kuat dalam hubungan sekolah dan gereja. Banyak masalah filosofis dan praktis yang dapat terselesaikan ketika sekolah dan gereja mempunyai tujuan yang sama yaitu melakukan amanat agung yang diperintahkan Tuhan.
           
Penutup
            Gereja dan sekolah mememiliki wilayah pijakan pelayanan dan titik berat pelayanannya sendiri-sendiri. Keduanya memiliki cakupan kerja yang mirip, namun apabila keduanya mengambil panggilan satu dengan yang lain atau saling tumpang tindih dalam pelayanannya, hal ini bukanlah masalah yang berarti. Interseksi pelayanan tak bisa dihindari karena memang keduanya tak dapat dipisahkan sebagai alat Tuhan dalam mewujudkan Amanat Agung yang Ia perintahkan.  
            Saya tertarik dengan  pernyataan Derek Keenan yang menyimpulkan hubungan gereja dan sekolah yang merupakan satu tubuh dalam Kristus dalam pelatihan orang-orang muda. “a strong school-church relationship is a wonderful opportunity for young people to see the Body of Christ, with its diversity of gifts and personalities, functioning together”.[6] Bagaimanakah pola hubungan pada pelayanana anda?






[1]   Boehlke, Robert R. Sejarah Perkembangan dan praktek pendidikan agama Kristen, (Jakarta: BPK Gunung Mulia 2003), hlm. 45
[2]   Richard A. Riesen, Piety and Philosophy, A Primer for Christian Schools.(Phoenix, Arizona: ACW Press, 2002), hlm. 121-123
[3]   Disarikan dari Piety and Philosophy, Richard A. Riesen hlm. 121-126
[4]   Glen Schultz, Kingdom education, second edition (Colorado Springs: Purposeful design, 1998), hlm. 225
[5]  Ibid, hlm. 118-119
[6]   Derek J. Keenan, “A crucial Relantionship.” Christian school Education 1, no.2 (1997-98), hlm. 4

Tidak ada komentar:

Posting Komentar