Antara Gereja dan Sekolah Kristen
Dr. Khoe Yao Tung, M.Sc.Ed, M.Ed.
Suatu ketika saya terlibat diskusi
dengan salah satu rekan pendidik, pembicaraan beralih pada campur aduknya peran
sekolah Kristen dan gereja. Apakah sekolah menjalankan peran gereja dalam
pembinaaan dan penginjilan anak, karena praksisnya sekolah Kristen selain melayani
pendidikan namun juga melakukan pembinaan dan penginjilan, sesuatu hal yang
sama yang dilakukan oleh gereja. Namun lebih lanjut ia menyatakan bahwa sekolah Kristen lebih strategis dibanding
gereja dalam membina kerohanian anak, terutama dalam memberitakan kabar baik (penginjilan).
Hal ini didasari dari banyaknya interaksi guru kristen dalam keseharian
kehidupan anak di sekolah. Sekolah Kristen memang memiliki kesempatan yang
lebih baik dalam memberitakan kabar baik (mandat injil) bagi murid-muridnya. Lama
waktu yang tersedia jauh lebih banyak dan intens terjadi di sekolah dibanding
dengan gereja. Intensitas dan kesempatan inilah yang menjadi dasar dari pendapatnya
ini, itupun kalau sekolah menjalankan peran sekolah Kristen yang ideal. Dialektika
lantas mencuat, kalau begitu dimanakah peran gereja dalam penginjilan, lembaga
mana yang paling bertanggung jawab memberitakan injil bagi anak apakah gereja
ataukah sekolah? Apakah sekolah juga bertanggung jawab dalam memberitakan
injil? Kalau begitu apakah sekolah Kristen mengambil alih peran gereja dalam
tugasnya di masyarakat?
Menilik sejarah pendirian sekolah
Kristen, banyak sekolah Kristen yang didirikan oleh gereja dan menjadi perpanjangtangan
dari gereja untuk menjalankan amanat agung. Sekolah yang didirikan merupakan
bagian dari gereja dalam menyampaikan mandat injil untuk dipergunakan sebagai
bagian pelayanan gereja. Namun bukan hanya pelengkap saja, atau “asal ada” bagi pelayanan Gereja. John
Amos Comenius (1592-1670) memelopori pendekatan pelayanan pendidikan Kristen
bukan sekadar ada, dan bukan bukan semata sebagai pelengkap pelayanan gerejawi
di kalangan jemaat dan bukan sebagai bidang yang berdiri sendiri.[1] Sekolah
Kristen harus berkualitas, memiliki standar pembinaan kerohanian dan akademik
yang baik. Bila sekolah Kristen hanya sebagai pelengkap pelayanan gereja maka
filosofi, misi, visi dan pengelolaan pendidikan Kristen tidak dapat dilakukan
dengan pelayanan dengan sungguh-sungguh kepada Allah dan manusia. Namun
demikian sekolah harus memposisikan dirinya tidak lebih penting dari gereja. Gereja
harus dapat memberikan arahan, baik visi dan misi bagi pelayanan sekolah, dan bila
tidak, sekolah Kristen tidak memiliki arahan pengajaran dan iman gereja dalam
melaksanakan pelayanannya. Sekolahpun tidak mendapat dukungan dari jemaat
gereja, yang sebagian besar adalah orang tua dari murid sekolah Kristen yang
bersangkutan.
Namun banyak sekolah Kristen yang
didirikan atas inisiatif segelintir orang Kristen, ada sekolah yang tidak
didirikan atas inisiatif gereja ataupun gereja lokal. Hal ini sering menimbulkan permasalahan berkaitan
dengan pengembangan pendidikan secara utuh berkaitan dengan spiritual dan
kerohanian anak, sekolah tidak dapat berkembang pada suatu kesatuan pelayanan
dalam tubuh Kristus. Visi dan misi sekolah tersebut dapat mengendur dan akhirnya
cenderung menyimpang dari visi dan misi mulia yang mula-mula. Bila sekolah
Kristen tersebut mengandeng gereja lokal, persoalan ini belum tentu selesai,
karena akan banyak perbedaan perspektif, program, persoalan teknis, dan bahkan
permasalahan administrasi yang tidak mudah, belum lagi kalau terjadi perbedaan doktrin
antara gereja lokal dan sekolah Kristen. Relasi serta hubungan yang harmonis
dan terpadu akan menjadi penentu bagi keberhasilan pengembangan pendidikan sekolah
Kristen. Dukungan pengurus sekolah minggu, dan komisi remaja gereja dapat
berkoordinasi dengan bidang kerohanian sekolah, bentuknya dapat saling
mendukung dalam pelayanan, kegiatan bersama, kebangunan rohani, sekolah injil
liburan dan layanan kerohanian gereja bagi sekolah.
Kontras antara gereja dan
sekolah
Perbedaan pendekatan pengajaran antara
sekolah Kristen dan sekolah Alkitab, antara lain sekolah Kristen memberikan
konteks yang luas akan liberal arts
dalam hubungannya dengan subjek akademik. Peran
sekolah Kristen lebih merupakan tempat yang baik bagi academic training dalam perspektif Kristen (termasuk di dalamnya Christian
worldview) dan spiritual nurture
dalam membentuk Christian mind dalam
diri anak. Sekolah harus menjadi landscape
yang menyediakan proses penginjilan berkaitan dengan spiritual formation dan
spiritual nurture. Seperti argumen tentang perumpamaan garam dan terang
dunia, sebelum kita memenangkan anak-anak bagi Kristus, kita harus berhenti
kehilangan anak-anak itu bagi dunia. Di sekolah Kristen, kita mengajar
identitas mereka di dalam Kristus sedemikian rupa sehingga mereka dapat
merangkul identitasnya bagi Kristus. Kita harus menyediakan latihan dan Christian mind dalam subjek pembelajaran
yang diajarkan agar terpola dalam dalam cara berpikir anak-anak di sekolah.
Peran dan tugas
inti yang berbeda dalam pelayanan
dengan tanggung jawab iman[2] namun merupakan
satu kesatuan dalam tubuh Kristus, dengan Yesus Kristus di tengahnya.
Berikut
rangkuman yang memberikan kontras pijakan dalam peran dan tanggung jawab bagi
pelayanan yang Tuhan percayakan, namun dalam pelaksanaannya peran keduanya tak
dapat dipisahkan dan dalam pelaksanaannya keduanya dapat saling tumpang tindih.
Tabel
1.[3]
Gereja
|
Sekolah Kristen
|
Preaching and evangelism
|
Spiritual formation
|
Christian faith
|
Spiritual nurture
|
Soul or spirit
|
Christian mind
|
Christian doctrine
|
Academic training in Christian worldview.
|
Learn faith and Bible
|
Learn subject from Christian perspective
|
Namun demikian hubungan antara
gereja dan sekolah Kristen menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan,
kehadirannya saling memberikan sinergi. Gereja tak boleh melepaskan diri dari
sekolah atau begitu juga sebaliknya. Eksistensi dari kehadiran sebuah sekolah
Kristen adalah memperlengkapi dan mendukung peran gereja dalam tugas dan
perannya dalam pengajaran. Francis Curran seorang guru besar sejarah pendidikan
Amerika dalam the churches and the Shools
mengatakan bahwa
“If the church withdraws from one division
of education, the logical consequence will be the ultimate abandonment of all
formal education by the church”[4]
Berkaitan
dengan peran gereja dan sekolah, Paul Young mantan presiden dari Southern
Baptist Educational Center di Missisipi menulis artikel yang berjudul “The Marriage of the Church and Christian
School: Why they do Struggle?. Young menjelaskan bagaimana sekolah harus
berkaitan dengan gereja dan bagaimana seharusnya posisi pendidikan Kristen
mengambil tempat bersama gereja dengan berlandaskan filsafat pendidikan Kristen
yang berdasarkan Alkitab. Young dengan tegas menyatakan bahwa sekolah Kristen
harus benar-benar Kristen yang nyata. Young mengajukan lima pertanyaan refleksi
untuk para pemimpin sekolah Kristen:[5]
·
Apakah
sekolah lebih banyak menekankan pengetahuan akademis dibandingkan dengan
kebenaran dalam Tuhan?
·
Apakah
sekolah lebih banyak menekankan pengembangan kompetensi teknis dibandingkan
dengan mengembangkan karakter kristiani?
·
Apakah
sekolah lebih banyak membuat perencanaan dibandingkan dengan berdoa?
·
Apakah
sekolah lebih menekankan aturan-aturan sekolah dibanding dengan prinsip-prinsip
Alkitab?
·
Apakah
sekolah lebih menekankan “curriculum-centered”
dibandingkan dengan “teacher-centered”?
Ketika sekolah dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan
di atas dari sudut pandang Alkitab. Sekolah akan dapat menemukan dirinya dalam relasi
yang kuat dengan kebenaran. Prinsip pendidikan Kristen menjadi fondasi yang
kuat dalam hubungan sekolah dan gereja. Banyak masalah filosofis dan praktis
yang dapat terselesaikan ketika sekolah dan gereja mempunyai tujuan yang sama
yaitu melakukan amanat agung yang diperintahkan Tuhan.
Penutup
Gereja dan sekolah mememiliki
wilayah pijakan pelayanan dan titik berat pelayanannya sendiri-sendiri. Keduanya
memiliki cakupan kerja yang mirip, namun apabila keduanya mengambil panggilan
satu dengan yang lain atau saling tumpang tindih dalam pelayanannya, hal ini bukanlah
masalah yang berarti. Interseksi pelayanan tak bisa dihindari karena memang
keduanya tak dapat dipisahkan sebagai alat Tuhan dalam mewujudkan Amanat Agung
yang Ia perintahkan.
Saya tertarik dengan pernyataan Derek Keenan yang menyimpulkan
hubungan gereja dan sekolah yang merupakan satu tubuh dalam Kristus dalam
pelatihan orang-orang muda. “a strong
school-church relationship is a wonderful opportunity for young people to see
the Body of Christ, with its diversity of gifts and personalities, functioning
together”.[6]
Bagaimanakah pola hubungan pada pelayanana anda?
[1] Boehlke, Robert R. Sejarah Perkembangan dan praktek pendidikan agama Kristen, (Jakarta: BPK
Gunung Mulia 2003), hlm. 45
[2] Richard A. Riesen, Piety and Philosophy, A Primer for Christian Schools.(Phoenix,
Arizona: ACW Press, 2002), hlm. 121-123
[4] Glen Schultz, Kingdom
education, second edition (Colorado Springs: Purposeful design, 1998), hlm. 225
[6] Derek J. Keenan, “A crucial
Relantionship.” Christian school Education 1, no.2 (1997-98), hlm. 4
Tidak ada komentar:
Posting Komentar