Godaan-godaan bagi Sekolah Kristen
Dr. Khoe Yao Tung, M.Sc.Ed, M.Ed
Pengamatan saya terhadap praksis sekolah
Kristen sebagai seorang pendidik, sangat menyayangkan beberapa pengambilan
keputusan operasional keseharian sekolah yang sering menggunakan referensi dan
praksis manajemen sekuler. Manajemen yang digunakanpun sering kali manajemen
yang berkembang dalam dunia bisnis. Saya tak memungkiri atau menampik referensi
tersebut, karena seringkali prinsip manajemen dunia bisnispun terinspirasi dari
prinsip kebenaran Firman Tuhan. Namun godaan dan jebakan sekularitas
penyelenggaraan sekolah Kristen yang terjadi, telah mengalihkan perhatian kita
pada visi dan misi pendidikan Kristen. Godaan penyelenggaraan pendidikan
Kristen lebih kepada apa yang dimiliki pendidikan sekuler dalam kebutuhan kehidupan
dan tren yang berkembang dalam masyarakat Godaan-godaan sekularitaspun menjadi
suatu pertempuran iman dari setiap keputusan dan tanpa sadarpun kita telah
terjebak dalam keputusan yang jauh dari panggilan iman Kristen.
Berikut adalah godaan-godaan penyelenggaraan pendidikan Kristen. Godaan pertama adalah penyelenggaraan pendidikan dengan manajemen
modern yang tak jelas akar filsafat di balik praksis manajemen tersebut.
Penggunaan manajemen sekuler akan membawa sekolah Kristen pada kerutinan
manajemen dan tidak lagi berfokus untuk memenangkan anak bagi Tuhan, tidak lagi berfokus pada
karya penebusan Kristus bagi
murid. Pola kerja manajemen justru lebih mengandalkan proses bisnis untuk kelancaran
kinerja lebih banyak berujung hanya untuk manajemen itu sendiri, lebih lagi
bagi kesenangan pimpinan itu sendiri tanpa bergantung pada pimpinan Tuhan. Instrumen manajemen berupa
penggunaan balance score card, sistem
perbonusan, merit system, strategic
management, performance management yang
tergesa-gesa dan subjektif, telah membawa institusi pendidikan Kristen terjebak
dalam manajemen bisnis dengan pola master-slave
management, atasan bawahan dalam hubungan antar manajemen dan guru. Manajemen
modern tidak semuanya sinkron satu sama lain, bahkan lebih sering intuitif,
kontradiktif satu sama lain, misalnya sistem performance management (kontraskan dengan penolakan dari Edward
Deming), sistem perbonusan (kontraskan dengan penolakan dari Daniel Pink),
bahkan lebih banyak dijauhkan dalam manajemen terkini karena justru mendemotivasi
dan meniadakan relasi dalam kerjasama organisasi.
Sebaliknya John Maxwell[1]
lebih mengutamakan motivasi dan semangat. Ia menganjurkan untuk menambahkan
nilai ke dalam diri orang, dorongan semangat pada kerja sama tim, dorongan
semangat pada perubahan hidup, dan dorongan semangat pada tuntunan pada hal-hal
yang besar dalam perspektif kristiani. Pola manajemen pendidikan sudah
seharusnya berlandaskan keteladanan dalam narasi Firman Tuhan seperti keteladanan
kepemimpinan hamba (Yoh 13:1-20), keteladan mengajar, keteladanan kualitas[2],
keteladan rendah hati dan semua kehidupan mendidik dalam Firman Tuhan.
Manajemen sudah seharusnya menjadi instrumen yang membuat suasana lebih
kondusif dalam menyentuh keseharian pendidikan, relasi guru dan murid, relasi
guru dan orangtua, serta relasi guru dan sesama guru, terutama relasi guru
dengan Tuhan.
Kekuatan sekolah Kristen berasal
dari
Tuhan dan bukan diri kita sendiri. Tuhan memanggil kita dengan kekuatan kelemahan kita. Ia memberkati pekerjaan kita sebagai pendidik, untuk mengubah kehidupan murid dan bukan membuat organisasi Kristen
dengan manajemen sekuler yang berorientasi bisnis.
Godaan kedua adalah penekanan kesuksesan akademik. Mereka
menginginkan reputasi akademik sebagai patokan kesuksesan penyelenggaraan
pendidikan. Padahal mereka masih terngiang misi utama pendidikan Kristen yang
keberadaannya karena suatu panggilan dalam mandat injili. Kesuksesan akademik
sudah seharusnya merupakan akibat dari penyelenggaraan pendidikan Kristen yang
sungguh dalam memuliakan Tuhan, Kualitas adalah hasil bawaan dari proses
pendidikan yang berintegrasi dengan kebenaran Firman Tuhan. Sudah seharusnya
sekolah Kristen berkualitas, namun hal itu bukanlah tujuan yang utama. Kesuksesan
dalam pendidikan Kristen adalah kesuksesan membawa siswa menerima Yesus Kristus
sebagai jalan kebenaran, jalan keselamatan dan kehidupan.
Gagasan kesuksesan akademik tanpa kesuksesan misi injili merupakan
suatu kekeliruan. Gagasan membesarkan reputasi sekolah dengan anggapan semakin diapresiasi, sekolah terjebak dalam
mempersiapkan murid masuk ke universitas favorit, memenangkan anak dalam berbagai olimpiade
akademik (apalagi dengan sistem perekrutan dan pembajakan anak-anak pemenanga
olimpiade serta pelatihan instan memenangkan kompetisi akademik) telah merubah mentalitas sekolah Kristen menjadi sekolah persiapan akademik dan bukan mempersiapkan hidup bagi
kekekalan. Howard
Hendricks dalam bukunya Mastering Teaching menyatakan bahwa
“Secular education seeks to make better, more
effective, more successful, more intelligent people. The Christian educator
aspires to nothing less than transformation of a believer into the image of
Christ.”[3]
Kesuksesan akademik
adalah penting bahkan suatu yang harus terjadi namun kesuksesan ini harus
dicapai dari misi dan visi pendidikan Kristen, yaitu memuridkan anak bagi
Kristus, mentransformasinya menjadi orang beriman serupa dengan Kristus.
Godaan ketiga
adalah pengabaian Firman Allah. Banyak sekolah Kristen terjebak dalam pendidikan
yang lebih berorientasi pada kurikulum publik (baca: kurikulum nasional),
walaupun mereka menyadari perlunya integrasi kebenaran firman Tuhan dalam
setiap subjek pelajaran. Mereka mengaku membangun dan menggunakan integrasi
Alkitab dalam pembelajaran. Namun “pengakuan” mengintegrasikan hanya dilakukan
dengan menggunakan tetap kurikulum publik dan menambahkan bagian Alkitab
sebagai asesoris pelengkap, sifatnya fragmentaris, tidak berarah, dan tidak
mendasar. Mereka tidak benar-benar membangunnya dari Alkitab sebagi sumber
hikmat dan kebenaran dengan kurikulum publik sebagai referensi urutannya. Ada
yang lebih menyedihkan lagi, kalau beberapa sekolah-sekolah Kristen sebenarnya merupakan perpanjangan tangan sekolah negeri menjalankan kurikulum sekuler dengan
memberikan asesoris religiositas dan simbol-simbol kekristenan. Bahkan lebih
parah lagi, ada beberapa sekolah Kristen sama sekali tidak menunjukkan
nilai-nilai kekristenan sekalipun hanya berbentuk religiositas kekristenan.
Sekolah Kristen telah tergoda mengabaikan kebenaran Firman Tuhan.
Mereka tidak mengindahkan metode, filsafat, pedagogi berdasarkan word of God. Mereka tidak lagi
berinisiatif membangun Christian
worldview dalam pembelajaran di dalam kelas. Kebaktian para pendidik dan professional development tidak lagi
dibangun oleh hamba-hamba Tuhan yang kompeten dan takut akan Tuhan. Topik-topik
pelatihan dan pengembangan guru tidak lagi menyentuh kebutuhan guru dalam
mendidik anak dalam iman Kristen. Kurikulum dan pelatihan dalam sekolah Kristen telah mengabaikan
kebenaran Firman Tuhan yang merupakan hikmat Allah,
tanpa-Nya kita hanyalah memiliki kebijakan common sense dari
seorang manusia berdosa.
Godaan keempat adalah keyakinan
akan keketatan
akademis dengan disiplin dipersepsi dengan pendidikan yang baik. Pelatihan ketaatan dengan keketatan disiplin
adalah latihan bagi setiap murid dalam sekolah Kristen, namun setiap disiplin
sudah seharusnya dilandasi filsafat pendidikan Kristen bukan sekedar aspek
psikologis ataupun berbagai filsafat sekuler (konstrukvisme, progressivisme dan
behaviorisme). Tidak
dengan mudah memperlakukan pendidikan
bermodelkan sistem input-output sederhana, mempersiapkannya dalam lingkungan yang tepat
belajar yang dapat membuat murid menjadi orang Kristen. Murid dapat saja belajar dalam pengkondisian ini
seperti taat
aturan, melakukan hal yang diinginkan
sekolah, namun mereka tidak belajar kebenaran firman
Tuhan, mereka tidak belajar untuk mengasihi Allah dan sesame manusia, mereka dapat saja belajar
moralisme secara umum namun mereka tidak dilatih dalam kekristenan sejati. Mereka tidak belajar memahami kasih karunia
Tuhan dalam hidup mereka, serta mengimplementasikannya di dalam hidupnya.
Godaan terakhir adalah pengaruh kebanggaan yang menjadikan sekolah Kristen yang dipimpinnya untuk
menjadi sekolah yang terbaik. Mereka membangun menaranya sendiri untuk
kebangaan pribadinya. Beberapa diantaranya mengadopsi berbagai praksis
pendidikan yang seolah baik, tanpa dasar yang jelas. Saya menyebutnya campur
sari (ekletisme). Godaan sekolah menjadi terunggul, mental tak mau kalah dengan
mengadopsi berbagai keunggulan yang dikiranya baik atau sedang trendi dalam
masyarakat, seolah mengikuti arus zaman menjadi godaan iman Kristen . Sekolah
Kristen adalah sekolah missioner (mission
driven), sekolah Kristen tidak diatur oleh tuntutan masyarakat, kebutuhan
golongan dan tuntutan persepsi marketing.
Sekolah Kristen adalah sekolah yang bergerak karena misi yang dihidupi dari
iman kepada Tuhan.
Penutup
Seringkali jebakan sekuler menjadi musuh utama dari sekolah
Kristen. Godaan-godaan bagi sekolah Kristen tidak akan lenyap namun inilah
tantangan para pendidik Kristen untuk terus merefleksikan kebenaran firman
Tuhan dalam pelayanan Firman Tuhan. Pelayananan pendidikan bersumber dari
Firman Tuhan, panggilan dari Tuhan untuk menuntaskan rencana Tuhan dalalm
kehidupan manusia. Pelayanan itu harus hidup dalam keseharian guru dan murid,
tidak melulu terlena dengan kenikmatan godaan sekuler dengan bungkus
kerohainan.
Murid kita di sekolah adalah seorang manusia ciptaan
Allah, ia adalah gambar dan rupa Allah. Pandangan terhadap siapa manusia dalam
pendidikan Kristen merupakah hal yang harus terjawab, apalagi ketika gambar dan
rupa Allah telah rusak akibat dosa. Tugas utama dari Pendidikan Kristen haruslah menjawab pemulihan
gambar dan rupa Allah yang telah rusak dengan karya penebusan Kristus. Sekolah
Kristen adalah sekolah yang memuridkan sekolah yang menjalan misi Amanat Agung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar