Senin, 29 Juni 2015

My New Books

BUKU-BUKU BARU



1. Khoe Yao Tung. Menuju Sekolah Kristen Impian Masa Kini. Yogyakarta: Penerbit Andi, 2015







 



2. Khoe Yao Tung. Pembelajaran dan Perkembangan Belajar. Jakarta: Penerbit Indeks, 2015






  




3. Khoe Yao Tung. Filsafat Pendidikan Kristen. Yogyakarta: Penerbit Andi, 2014.
















  • Menuju Sekolah Kristen Impian Masa Kini
         Harga buku Rp 89.000 Disc 20%
         Harga Diskon: Rp 71.200

  • Filsafat Pendidikan Kristen, Meletakkan Fondasi Dan Filosofi Pendidikan Kristen Di Tengah Tantangan Filsafat Dunia
          Harga: Rp 85.000 Disc 20%
          Harga Diskon: Rp 68.000


  • Pembelajaran dan perkembangan belajar
          Harga: Rp 150.000 Disc 20%
          Harga Diskon: Rp 120.000

Harga Belum termasuk ongkos kirim (harga termurah dan terpercaya: JNE dalam kota Jakarta atau kantor pos luar kota).
BCA: 1271106365 a/n Khoe Yao Tung
Konfirmasi email: dr.khoe@yahoo.com
WA/HP: 08164849044
Cara memesan:
sms (WA) atau email hendak membeli, akan dibalas dengan berapa harga total (termasuk dengan ongkos kirim), transfer melalui BCA, dan konfirmasi pembayaran melalui sms (WA) atau email,  buku akan segera dikirimkan.




Minggu, 28 Juni 2015

Godaan-godaan bagi Sekolah Kristen



Godaan-godaan bagi Sekolah Kristen
Dr.  Khoe Yao Tung, M.Sc.Ed, M.Ed

 Pengamatan saya terhadap praksis sekolah Kristen sebagai seorang pendidik, sangat menyayangkan beberapa pengambilan keputusan operasional keseharian sekolah yang sering menggunakan referensi dan praksis manajemen sekuler. Manajemen yang digunakanpun sering kali manajemen yang berkembang dalam dunia bisnis. Saya tak memungkiri atau menampik referensi tersebut, karena seringkali prinsip manajemen dunia bisnispun terinspirasi dari prinsip kebenaran Firman Tuhan. Namun godaan dan jebakan sekularitas penyelenggaraan sekolah Kristen yang terjadi, telah mengalihkan perhatian kita pada visi dan misi pendidikan Kristen. Godaan penyelenggaraan pendidikan Kristen lebih kepada apa yang dimiliki pendidikan sekuler dalam kebutuhan kehidupan dan tren yang berkembang dalam masyarakat Godaan-godaan sekularitaspun menjadi suatu pertempuran iman dari setiap keputusan dan tanpa sadarpun kita telah terjebak dalam keputusan yang jauh dari panggilan iman Kristen.
Berikut adalah godaan-godaan penyelenggaraan pendidikan Kristen. Godaan pertama adalah penyelenggaraan pendidikan dengan manajemen modern yang tak jelas akar filsafat di balik praksis manajemen tersebut. Penggunaan manajemen sekuler akan membawa sekolah Kristen pada kerutinan manajemen dan tidak lagi berfokus untuk memenangkan anak bagi Tuhan, tidak lagi berfokus pada karya penebusan Kristus bagi murid. Pola kerja manajemen justru lebih mengandalkan proses bisnis untuk kelancaran kinerja lebih banyak berujung hanya untuk manajemen itu sendiri, lebih lagi bagi kesenangan pimpinan itu sendiri tanpa bergantung pada pimpinan Tuhan. Instrumen manajemen berupa penggunaan balance score card, sistem perbonusan, merit system, strategic management, performance management yang tergesa-gesa dan subjektif, telah membawa institusi pendidikan Kristen terjebak dalam manajemen bisnis dengan pola master-slave management, atasan bawahan dalam hubungan antar manajemen dan guru. Manajemen modern tidak semuanya sinkron satu sama lain, bahkan lebih sering intuitif, kontradiktif satu sama lain, misalnya sistem performance management (kontraskan dengan penolakan dari Edward Deming), sistem perbonusan (kontraskan dengan penolakan dari Daniel Pink), bahkan lebih banyak dijauhkan dalam manajemen terkini karena justru mendemotivasi dan meniadakan relasi dalam kerjasama organisasi.
Sebaliknya John Maxwell[1] lebih mengutamakan motivasi dan semangat. Ia menganjurkan untuk menambahkan nilai ke dalam diri orang, dorongan semangat pada kerja sama tim, dorongan semangat pada perubahan hidup, dan dorongan semangat pada tuntunan pada hal-hal yang besar dalam perspektif kristiani. Pola manajemen pendidikan sudah seharusnya berlandaskan keteladanan dalam narasi Firman Tuhan seperti keteladanan kepemimpinan hamba (Yoh 13:1-20), keteladan mengajar, keteladanan kualitas[2], keteladan rendah hati dan semua kehidupan mendidik dalam Firman Tuhan. Manajemen sudah seharusnya menjadi instrumen yang membuat suasana lebih kondusif dalam menyentuh keseharian pendidikan, relasi guru dan murid, relasi guru dan orangtua, serta relasi guru dan sesama guru, terutama relasi guru dengan Tuhan. Kekuatan sekolah Kristen berasal dari Tuhan dan bukan diri kita sendiri. Tuhan memanggil kita dengan kekuatan kelemahan kita. Ia memberkati pekerjaan kita sebagai pendidik, untuk mengubah kehidupan murid dan bukan membuat organisasi Kristen dengan manajemen sekuler yang berorientasi bisnis.
Godaan kedua adalah penekanan kesuksesan akademik. Mereka menginginkan reputasi akademik sebagai patokan kesuksesan penyelenggaraan pendidikan. Padahal mereka masih terngiang misi utama pendidikan Kristen yang keberadaannya karena suatu panggilan dalam mandat injili. Kesuksesan akademik sudah seharusnya merupakan akibat dari penyelenggaraan pendidikan Kristen yang sungguh dalam memuliakan Tuhan, Kualitas adalah hasil bawaan dari proses pendidikan yang berintegrasi dengan kebenaran Firman Tuhan. Sudah seharusnya sekolah Kristen berkualitas, namun hal itu bukanlah tujuan yang utama. Kesuksesan dalam pendidikan Kristen adalah kesuksesan membawa siswa menerima Yesus Kristus sebagai jalan kebenaran, jalan keselamatan dan kehidupan.
Gagasan kesuksesan akademik tanpa kesuksesan misi injili merupakan suatu kekeliruan. Gagasan membesarkan reputasi sekolah dengan anggapan semakin diapresiasi, sekolah terjebak dalam mempersiapkan murid  masuk ke universitas favorit,  memenangkan anak dalam berbagai olimpiade akademik (apalagi dengan sistem perekrutan dan pembajakan anak-anak pemenanga olimpiade serta pelatihan instan memenangkan kompetisi akademik) telah merubah mentalitas sekolah Kristen menjadi sekolah persiapan akademik dan bukan mempersiapkan hidup bagi kekekalan. Howard Hendricks dalam bukunya Mastering Teaching menyatakan bahwa
“Secular education seeks to make better, more effective, more successful, more intelligent people. The Christian educator aspires to nothing less than transformation of a believer into the image of Christ.”[3]
Kesuksesan akademik adalah penting bahkan suatu yang harus terjadi namun kesuksesan ini harus dicapai dari misi dan visi pendidikan Kristen, yaitu memuridkan anak bagi Kristus, mentransformasinya menjadi orang beriman serupa dengan Kristus.
Godaan ketiga adalah pengabaian Firman Allah. Banyak sekolah Kristen terjebak dalam pendidikan yang lebih berorientasi pada kurikulum publik (baca: kurikulum nasional), walaupun mereka menyadari perlunya integrasi kebenaran firman Tuhan dalam setiap subjek pelajaran. Mereka mengaku membangun dan menggunakan integrasi Alkitab dalam pembelajaran. Namun “pengakuan” mengintegrasikan hanya dilakukan dengan menggunakan tetap kurikulum publik dan menambahkan bagian Alkitab sebagai asesoris pelengkap, sifatnya fragmentaris, tidak berarah, dan tidak mendasar. Mereka tidak benar-benar membangunnya dari Alkitab sebagi sumber hikmat dan kebenaran dengan kurikulum publik sebagai referensi urutannya. Ada yang lebih menyedihkan lagi, kalau beberapa sekolah-sekolah Kristen sebenarnya merupakan perpanjangan tangan sekolah negeri menjalankan kurikulum sekuler dengan memberikan asesoris religiositas dan simbol-simbol kekristenan. Bahkan lebih parah lagi, ada beberapa sekolah Kristen sama sekali tidak menunjukkan nilai-nilai kekristenan sekalipun hanya berbentuk religiositas kekristenan.
Sekolah Kristen telah tergoda mengabaikan kebenaran Firman Tuhan. Mereka tidak mengindahkan metode, filsafat, pedagogi berdasarkan word of God. Mereka tidak lagi berinisiatif membangun Christian worldview dalam pembelajaran di dalam kelas. Kebaktian para pendidik dan professional development tidak lagi dibangun oleh hamba-hamba Tuhan yang kompeten dan takut akan Tuhan. Topik-topik pelatihan dan pengembangan guru tidak lagi menyentuh kebutuhan guru dalam mendidik anak dalam iman Kristen. Kurikulum dan pelatihan dalam sekolah Kristen telah mengabaikan kebenaran Firman Tuhan yang merupakan hikmat Allah, tanpa-Nya kita hanyalah memiliki kebijakan common sense dari seorang manusia berdosa.
Godaan keempat adalah keyakinan akan keketatan akademis dengan disiplin dipersepsi dengan pendidikan yang baik. Pelatihan ketaatan dengan keketatan disiplin adalah latihan bagi setiap murid dalam sekolah Kristen, namun setiap disiplin sudah seharusnya dilandasi filsafat pendidikan Kristen bukan sekedar aspek psikologis ataupun berbagai filsafat sekuler (konstrukvisme, progressivisme dan behaviorisme). Tidak dengan mudah memperlakukan pendidikan bermodelkan sistem input-output sederhana, mempersiapkannya dalam lingkungan yang tepat belajar yang dapat membuat murid menjadi orang Kristen. Murid dapat saja belajar dalam pengkondisian ini seperti taat aturan, melakukan hal yang diinginkan sekolah, namun mereka tidak belajar kebenaran firman Tuhan, mereka tidak belajar untuk mengasihi Allah dan sesame manusia, mereka dapat saja belajar moralisme secara umum namun mereka tidak dilatih dalam kekristenan sejati. Mereka tidak belajar memahami kasih karunia Tuhan dalam hidup mereka, serta mengimplementasikannya di dalam hidupnya.
Godaan terakhir adalah pengaruh kebanggaan yang  menjadikan sekolah Kristen yang dipimpinnya untuk menjadi sekolah yang terbaik. Mereka membangun menaranya sendiri untuk kebangaan pribadinya. Beberapa diantaranya mengadopsi berbagai praksis pendidikan yang seolah baik, tanpa dasar yang jelas. Saya menyebutnya campur sari (ekletisme). Godaan sekolah menjadi terunggul, mental tak mau kalah dengan mengadopsi berbagai keunggulan yang dikiranya baik atau sedang trendi dalam masyarakat, seolah mengikuti arus zaman menjadi godaan iman Kristen . Sekolah Kristen adalah sekolah missioner (mission driven), sekolah Kristen tidak diatur oleh tuntutan masyarakat, kebutuhan golongan dan tuntutan persepsi marketing. Sekolah Kristen adalah sekolah yang bergerak karena misi yang dihidupi dari iman kepada Tuhan.

Penutup
Seringkali jebakan sekuler menjadi musuh utama dari sekolah Kristen. Godaan-godaan bagi sekolah Kristen tidak akan lenyap namun inilah tantangan para pendidik Kristen untuk terus merefleksikan kebenaran firman Tuhan dalam pelayanan Firman Tuhan. Pelayananan pendidikan bersumber dari Firman Tuhan, panggilan dari Tuhan untuk menuntaskan rencana Tuhan dalalm kehidupan manusia. Pelayanan itu harus hidup dalam keseharian guru dan murid, tidak melulu terlena dengan kenikmatan godaan sekuler dengan bungkus kerohainan.
Murid kita di sekolah adalah seorang manusia ciptaan Allah, ia adalah gambar dan rupa Allah. Pandangan terhadap siapa manusia dalam pendidikan Kristen merupakah hal yang harus terjawab, apalagi ketika gambar dan rupa Allah telah rusak akibat dosa. Tugas utama dari Pendidikan Kristen haruslah menjawab pemulihan gambar dan rupa Allah yang telah rusak dengan karya penebusan Kristus. Sekolah Kristen adalah sekolah yang memuridkan sekolah yang menjalan misi Amanat Agung.




[1]   Serial Kepemimpinan Kristen seperti: Encouragemet Changes Everything, Winning with People, the 17 indisputable Laws of Teamwork, dan buku best seller John Maxwell lainnya
[2]   Melakukan seolah untuk Tuhan (Kol. 3:23), dituntut satu mil berjalan dua mil (Mat 5:41), keunggukan kumulatif dalm efek Matius (Matius 13:12 dan 25:29).
[3]     Mastering Teaching, (Nashville: Thomas Nelson, 2010) hlm. 15

Sabtu, 06 Juni 2015

Pendidikan bagi Syalom



Pendidikan yang Membawa Syalom
Dalam skenario Metanarasi Allah
Dr. Khoe Yao Tung, M.Sc.Ed, M.Ed

Syalom dalam bahasa Ibrani berarti damai, selamat, sejahtera, perdamaian atau ketenangan. Dalam Perjanjian Lama makna syalom mengarah pada keutuhan, kelengkapan, integritas, ketulusan, keadilan, dan penebusan.[1] Kata syalom dalam Perjanjian Lama digunakan sebanyak 237 kali untuk mengucapkan selamat kepada seseorang, untuk menyapa kabar keselamatan (bahasa Indonesia: Apa kabar?). Syalom digunakan untuk menjelaskan cara seseorang datang atau pergi (dengan damai atau tidak, misalnya pergilah 'dengan damai'), mengungkapkan kematian atau penguburan dalam damai.
Dalam Perjanjian Baru syalom (yunani: eirené berarti damai) mengarah pada arti yang lebih dalam lagi yaitu kesuburan tumbuh-kembang, keutuhan, dan menyenangkan[2]. Dr. Neil Platinga presiden emeritus pada Calvin Theological Seminary dalam situs resmi Calvin College menyebutkan bahwa pendidikan bagi syalom adalah
The webbing together of God, humans, and all creation in justice, fulfillment, and delight is what the Old Testament prophets called shalom. We call it peace, but it means far more than mere peace of mind or cease-fire among enemies.” [3]
Dalam terjemahan bebasnya, pendidikan bagi syalom adalah anyaman bersama Allah, manusia, dan semua ciptaan dalam keadilan, pemenuhan, dan hal menyenangkan seperti yang disebutkan nabi pada zaman Perjanjian Lama sebagai  syalom. Kami menyebutnya perdamaian, tetapi lebih jauh dari dari sekedar ketenangan pikiran atau gencatan senjata dengan musuh.”
Dalam Alkitab pengertian syalom disampaikan dalam kisah cerita atau narasi yang dapat bermakna suatu relasi yang intim, hidup berelasi dalam kebenaran bersama Tuhan, relasi  antar sesama manusia, dan semua ciptaan Tuhan lainnya dalam pemenuhan, keadilan, dan bertumbuh kembang. Syalom menyatakan hubungan yang benar dengan Allah, diri sendiri, sesama, dan dunia. Brian J. Walsh menyebutkan bahwa syalom adalah Perjanjian damai Allah bagi semua kehidupan (God’s covenantal peace- for all of life).[4]
Kisah-kisah Alkitab memaknai syalom pada keluasan dan kedalaman arti syalom sebagai perjanjian damai Allah bagi semua kehidupan.
Syalom dalam makna yang luas
Ayat pendukung
Kesuburan negeri, keberhasilan panen yang melimpah.
“Tetapi orang-orang yang rendah hati akan mewarisi negeri dan bergembira karena kesejahteraan yang berlimpah-limpah” (Mazmur 37:11).
Menempuh hidup yang penuh arti
“Tetapi engkau akan pergi kepada nenek moyangmu dengan sejahtera; engkau akan dikuburkan pada waktu telah putih rambutmu” (Kejadian 15:15).
Selamat atau terhindar dari ancaman bahaya
Tuhan berjanji, “Selamatlah engkau! Jangan takut, engkau tidak akan mati” (Hakim-hakim 6:23).
Persahabatan, Hidup rukun dengan orang lain, “perhubungan baik”
“Pergilah dengan selamat; bukankah kita berdua telah bersumpah demi nama TUHAN, demikian: TUHAN akan ada di antara aku dan engkau serta di antara keturunanku dan keturunanmu sampai selamanya” (I Samuel 20:42).
Hidup dalam kebenaran dan keadilan
Yeremia 33:8-14 dan Yesaya 54:11-17, prinsipnya adalah hidup dalam hubungan yang dekat dan hangat dengan Tuhan.

Dengan narasi ini, syalom berarti damai sejahtera diantara orang beriman yang berelasi erat dengan Tuhannya, antara sesama manusia di tengah masyarakat yang penuh dosa dan penderitaan. Atribut penting yang ada pada syalom antara lain suatu perjalanan panjang yang ditempuh dengan damai sejahtera, menempuh hidup yang penuh makna, selamat dari mara bahaya, persahabatan dan hidup rukun damai dengan semua orang, serta hidup dalam kebenaran dan keadilan.
            Wolterstorff menyatakan bahwa syalom lebih dari sekedar dari suatu visi. Dalam konteks pendidikan bagi syalom, ia menyatakan bahwa tujuan pelayanan pendidikan Kristen adalah memperlengkapi para pendidik untuk menjadi agen bagi syalom, model bagi syalom dan saksi bagi syalom (to be agents of shalom, models of shalom, witnesses to shalom).[5] Para pendidik Kristen perlu mempromosikan syalom dalam pelayanan pendidikan (pengajaran, penelitian, publikasi, dan mengembangkan institusi pendidikan) Kristen untuk mewujudkan perdamaian, keadilan, dan kesejahteraan manusia.  Pendidikan Kristen terpanggil untuk mengusahakan syalom bagi orang lain, bahkan kesejahteraan untuk masyarakat luas. Ketika umat Israel berada dalam pembuangan di Babel, mereka diminta untuk mengusahakan syalom untuk negeri asing itu: “Usahakanlah kesejahteraan kita ke mana kamu Aku buang, dan berdoalah untuk kota itu kepada TUHAN, sebab kesejahteraannya adalah kesejahteraanmu” (Yeremia 29:7).

Perbandingan syalom dalam PL dan PB
Perjanjian lama
Perjanjian baru
Diuji dalam perjanjian Tuhan sampai dari adam dan nuh
Penggenapan dalam Kristus
Tidak ada perang, seperti Salomo
Rekonsialisasi head, hand dan body
Truth, Beauty dan Goodness
Dikembangkan fragmen keselamatan

Dalam konteks syalom, pendidikan merupakan upaya yang gigih dalam mengusahakan suatu tujuan yang terarah. Pendidikan merupakan adanya keikutsertaan dalam kehidupan orang-orang dengan tujuan mempengaruhi perubahan kehidupan mereka melalu disiplin, keteladanan, dan mengembangkan empati. Syalom menuntut upaya dan jerih payah dalam mengusahakan keberhasilan. “Kata mereka kepadanya: “Tanyakanlah kiranya kepada Allah, supaya kami ketahui apakah perjalanan yang kami tempuh ini akan berhasil.” Kata imam itu kepada mereka: “Pergilah dengan selamat! Perjalanan yang kamu tempuh itu dipandang baik oleh TUHAN” (Hakim-hakim 18:5-6).

Pendidikan bagi syalom
Menurut Nicholas Wolterstorff, mendidik yang membawa syalom merupakan pendidikan dalam kehidupan yang dipenuhi oleh rasa syukur dalam tanggung jawab, penyembahan, dan penghargaan. Selanjutnya Wolstertoff memberikan perbandingan yang kontras beberapa jenis institusi pendidikan Kristen dalam keberadaan pelayanannya. Ia mengajukan empat model institusi pendidikan[6]:
1.    Model pelayan Kristen (Christian service model), model ini melatih anak-anak dalam pekerjaan “Kristen”, melatih mereka menemukan panggilan hidup mereka sebagai pekerja iman dalam ladang pelayanan gereja, misi, penginjilan, kesehatan, dan pendidikan.
2.    Model humanisme Kristen (Christian humanist model ), model humanis Kristen memandang sasaran pendidikan adalah  mengaitkan murid pada warisan budaya manusia. Michael Oakeshoot (1901-1990), seorang tokoh filsafat politik dari Cambridge dalam esainya berjudul “Education: The Engagement and  Its Frustration,” Menurutnya pendidikan adalah kebebasan, pandangan pendidikan Oakeshoot adalah bagaimana dasar-dasar pendidikan didasarkan pada manusia dan keinginannya.  Pandangan Oakeshoot merupakan pandangan Christian humanism, pendidikan untuk kebebasan. Untuk menjadi manusia mereka harus memahami dunia dan dirinya, menafsirkan dunia dan dirinya sendiri. Dengan kata lain menjadi manusia adalah keberadaan dalam dunia dan bagi dirinya sendiri secara bermakna. Manusia merupakan proses menanggapi realitas yang bermakna, respon yang berbeda dengan cara perilaku hewan. Manusia adalah "makhluk yang menginginkan". Mereka "menginginkan sesuatu” tidak hanya dorongan biologis atau impuls genetik semata, namun keinginan dalam memuaskan imajinasi, keinginan dalam pengharapan, penghargaan, dicintai dan dibutuhkan. Sehingga Oakseshoot melihat pendidikan sebagai transaksi antara manusia dan keingingan dengan kondisi manusia dalam warisan kesadaran menjadi manusia.
Pandangan Christian humanism lainnya disampaikan oleh William Harry Jellema (1893–1982) yang merupakan pendiri fakultas filsafat Calvin College. Jellema menyatakan bahwa pendidikan merupakan suatu kebebasan dan membebaskan.
3.    Model disiplin akademik Kristen (Christian academic-discipline model) yang memfokuskan pendidikan Kristen untuk memperkenalkan siswa pada subjek pembelajaran atau disiplin akademik dari perspektif Kristen. Murid mendapatkan pelajaran dalam pembentukan cara berpikir Kristen dalam pemeliharaan pendidikan Kristen.
4.    Model panggilan Kristen (Christian vocation model) merupakan model dengan tujuan menjadikan”, memanggil untuk menjadi pelayan Kristus. Institusi pendidikan dalam model ini melatih murid untuk peran apa pun yang mereka akan jalani, terutama peran pekerjaan atau profesional, dan mengajarkan mereka untuk memimpin dirinya sebagai orang Kristen. Dalam menjalankan peran tersebut, dibutuhkan pematangan dan sosialisasi. Proses pematangan membutuhkan keterlibatan murid dalam proyek-proyek individu (aktivitas eksperimental), sehingga mereka dapat merasakan, aktif, dan memiliki pengalaman aktivitas nyata. Belajar adalah untuk menjadi pribadi yang mencari tahu, murid itu harus dilindungi dari pengabaian, pelecehan dan ajaran yang bebas dari kebimbangan. Proses sosialisasi bertujuan mempertahankan kelembagaan dalam bermasyarakat. Pendidikan menjadi sarana bagi orang yang tak mampu untuk menjadi warga negara yang baik, patriot, pegawai negeri, dan buruh terampil, Pendekatan ini menarik bagi banyak sekolah-sekolah Kristen terutama mereka dapat bergerak lebih leluasa dalam model pelayanan Kristen.

Menurut saya, model-model pendidikan dalam bentuk model  pelayan Kristen, panggilan Kristen dan disiplin akademik Kristen merupakan model yang cukup ideal bagi pendidikan yang membawa syalom. Karena model ini bertumpu pada model pendidikan misioner  dalam kasih anugerah Tuhan.  Suatu perjalanan misi pendidikan dengan syalom menetap dalam karya penebusan Tuhan Yesus Kristus. Implikasi dari pendidikan Kristen dengan syalom didalamnya memberikan keadilan, damai, dan kasih pada dunia.[7] Syalom yang menetap akan memberikan pemahaman akan misi pendidikan Kristen, membangun pedagogi pendidikan dalam perspektif Kristen. Untuk maksud tersebut, pendidikan kristen haruslah membangun kurikulum yang mengintegrasikan iman dalam setiap subjek pembelajaran, mengembangkan struktur dan komunitas Kristen dalam pendidikan, menempatkan peran dan tugas penyembahan Tuhan di dalam komunitas Kristen.
Syalom yang tinggal dalam diri kita membawa konsekuensi pada hubungan Tuhan antara orang-orang-Nya, hubungan diantara komunitas Kristen, serta antara manusia dengan lingkungannya[8]. Syalom tersebut membawa pengaruh dalam perjalanan hidup untuk memberikan kabar baik. Alkitab menyatakan keterkaitan hubungan dari iman yang lahir dari syalom Kristus “Justru karena itu kamu harus dengan sungguh-sungguh berusaha untuk menambahkan kepada imanmu kebajikan, dan kepada kebajikan pengetahuan, dan kepada pengetahuan penguasaan diri, kepada penguasaan diri ketekunan, dan kepada ketekunan kesalehan, dan kepada kesalehan kasih akan saudara-saudara, dan kepada kasih akan saudara-saudara kasih akan semua orang” (2 Pet. 1:5-7).
              Makna tujuan pendidikan dapat terdiri dari tiga proses yaitu pencapaian, shalom dan penggenapan. Allah menciptakan manusia dengan kemampuan untuk merencanakan, melaksanakan dan mencapai sesuatu dalam segala usahanya, namun sebagai manusia, yang diciptakan menurut gambar dan rupan_nya, kita tidak sekedar mendasarkan tindakan kita pada kemampuan manusia semata namun meletakkan dalam tahapan shalom. Segala kemampuan dan usaha manusia, tidak dapat dipisahkan dari kesadaran akan tanggung jawab. Kesadaran akan memberi jawab bahwa manusia adalah ciptaan Allah. Allah menciptakan segala sesuatu dengan perintah “memanggil” dengan firman-Nya. Allah memanggil manusia dalam tiga keunikan panggilan yaitu panggilan yang berkaitan dengan hakikat dan martabat diri manusia (Kejadian 1:26-31); Panggilan bersifat perintah (Kejadian 2:16-17); dan Panggilan yang menyatakan konsekuensi (Kejadian 2:17).
              Ketika manusia tidak berespon dengan benar kepada Allah, Pencipta-Nya, manusia melanggar perintah Allah, hidup dalam dosa yang merusak martabatnya, dan menerima konsekuensi dari dosa dan pelanggarannya (Efesus 2:1). Panggilan Tuhan tetap berlangsung bagi manusia (Kejadian 3:10). Panggilan Tuhan pertama-tama berkenaan dengan keselamatan yang membebaskan manusia dari dosa dan maut. Kemudian panggilan untuk mempersembahan tubuh sebagai persembahan yang hidup dan kudus (Roma 12:1-2). Selanjutnya selama di dalam dunia ini sebagai orang-orang yang telah ditebus oleh Tuhan Yesus, semua yang kita inginkan, pikirkan, rancangkan, kerjakan merupakan panggilan-Nya untuk menyatakan shalom. Pengertian Shalom merangkai ketiga panggilan Tuhan kepada kita dalam rancangan damai sejahtera-Nya. Damai sejahtera Kutinggalkan bagimu. Damai sejahtera-Ku Kuberikan kepadamu, dan apa yang Kuberikan tidak seperti yang diberikan oleh dunia kepadamu. Janganlah gelisah dan gentar hatimu (Yohanes 14:27).
Shalom (damai sejahtera) merupakan buah penebusan Kristus bagi kita yang menerimanya. Shalom menyatakan hubungan yang benar dengan Allah, diri sendiri, sesama, dan dunia. Shalom menjadi pembenaran utama dalam segala mendidik.
Perumpamaan anak yang hilang (Lukas 15:11-24) memberikan kepada prinsip penting memahami shalom. Dengan menggunakan pola khiamus dalam perumpamaan ini[9], terdapatlah prinsip shalom. Perubahan anak bungsu, dari yang terhilang dan ditemukan kembali merupakan suatu perjalanan dari menuntut harta milik ayahnya bagi dirinya sebelum waktunya. lalu anak bungsu memboroskan harta yang diperolehnya, kemudian menghabiskannya sampai kepada kehidupan yang najis menurut orang Yahudi, dan mengalami penolakan dari sesamanya. peristiwa ini menyatakan rusaknya relasi antara si bungsu dengan ayahnya, dengan dirinya, dengan sesamanya, bahkan dengan apa yang Tuhan sediakan dalam alam ini. Shalom dimulai ketika si bungsu menyadari kekeliruan dari tindakannya. Kesadaran akan dirinya belum cukup. Ia menyadari rumah Bapanya. Ia bangkit dan pergi kepada Bapanya dengan suatu komitmen untuk menjadi upahan ayahnya. Shalom dimulai ketika kita menyadari diri kita dalam terang hidup di rumah Bapa. Si bungsu mulai berdamai dengan dirinya, dengan ayahnya, dengan sesamanya dan dengan segenap ciptaan.
Kisah perumpamaan ini berubah domain, dari kisah si bungsu menjadi kisah sang ayah. Ayahnya melihatnya dan menyambut anaknya yang masih terlihat jauh. Sang ayah penuh dengan menantikan dengan belas kasihan. Sang ayah berlari dan mendapatkan anaknya itu, ia merangkul dan mencium kembalinya si bungsu. Shalom adalah perdamaian yang disediakan oleh Allah Bapa. Sang anak sadar  dan sepenuhnya menerima belas kasihan ayahnya. Ia berkata “Bapa, aku telah berdosa terhadap sorga dan terhadap bapa.” Shalom bukan hanya menerima tetapi juga pemulihan dalam keadilan dan kasih sang bapa. Sang anak dipulihkan kembali, dari pemborosan untuk diri sendiri menjadi berbagi-bagi kesukaan bersama, dan sesama. Shalom adalah perdamaian yang berbuah keadilan dan kasih dalam segenap aspek kehidupan kita. Pedagogi berdasarkan shalom dan menghasilkan shalom.
              Usaha manusia berangkai dengan dirinya, sesamanya, lingkungannya dan terlebih lagi dengan Allah yang menciptakannya.  Sebagaimana Tuhan Yesus Kristus datang ke dalam dunia untuk menggenapi keselamatan bagi manusia yang berdosa, demikian pula kita sebagai umat tebusan-Nya dipanggil untuk menggenapi maksud-Nya. Makna tujuan pendidikan Kristen berangkai dalam pencapaian yang berbuahkan shalom dan menggenapi maksud Tuhan bagi kita dan dunia ciptaan-Nya. Sebagaimana kedatangan Tuhan Yesus menggenapi apa yang dinyatakan dalam Perjanjian Lama, dan menggenapi keselamatan bagi manusia  berdosa sebagaimana dinyatakan dalam perkataan-Nya “Sudah selesai,” demikian rasul Paulus mengikuti jejak Tuhan Yesus dengan berkata, “Aku telah mengakhiri pertandingan yang baik, aku telah mencapai garis akhir dan aku telah memelihara iman.” (2 Timotius 4:7). Kini kita memberitakan dan menghidupi karya penggenapan Tuhan Yesus sampai kedatangan-Nya kembali.

Dalam meta-narasi Allah
Pendidikan yang membawa syalom berada dalam kisah agung dalam drama empat babak meta-narasi alkitabiah. Pertama, dalam mandat penciptaan. Allah menciptakan manusia menurut gambar dan rupa Allah, manusia diberikan mandat budaya untuk menjaga bumi dan menjadi penatalayanan bagi semua realitas ciptaan Tuhan (Kej. 1,2). Kedua, Kejatuhan manusia dalam dosa, telah merusak gambar dan rupa Allah, manusia tidak lagi dapat lagi memenuhi mandat penciptaan atau mandat budaya (Kej. 3). Meskipun tidak membatalkan panggilan mandat tersebut, dosa tersebut menghalangi usaha kita memenuhi panggilan Tuhan. Rencana Allah terdistorsi dengan ketidaktaatan dan dosa manusia.
Ketiga, pemulihan gambar dan rupa Allah yang rusak dalam diri manusia melalui
penebusan karya Yesus Kristus, yang memampukan manusia menjadi manusia baru (2 Kor. 5:16-21). Pemulihan ini memberikan implikasi dalam memuridkan semua bangsa dan mengajarkan segala sesuatu yang Kristus perintahkan kepada manusia. Keempat pemenuhan atau penggenapan ketika Tuhan Yesus datang kembali[10]. Menantikan kedatangan Tuhan sambil mengerjakan pekerjaan dalam rencana Tuhan  karena Tuhan akan kembali menetapkan kerajaan Allah dalam segala kepenuhan-Nya.[11] (2Pet 3:10-13, Why. 21:1-5)

Penutup:
Dalam implementasi pendidikan Kristen, syalom hanya dapat dipenuhi dalam kerangka meta-narasi Allah. Penggenapan merangkai segala sesuatu dalam integrasi orang beriman untuk mengupayakan pendidikan yang mendatangkan syalom dalam perkenanan Tuhan. Mengusahakan syalom adalah mengusahakan perjalanan damai sejahtera dalam misi dan rencana Tuhan, upaya dinamis mencapai keunggulan dalam syalom bagi penggenapan kasih Anugerah Tuhan, Dalam meta-narasi Tuhan, sekolah-sekolah Kristen menerima berkat syalom dari kasih anugerah Tuhan, lalu mereka mengusahakan damai, keadilan, dan kesejahteraan bagi umat manusia untuk mewujudkan misi Tuhan dalam kehidupan bermasyarakat. Kita terpanggil mengusahakan syalom, upaya gigih bagi para pendidik Kristen untuk membawa syalom bagi semua orang dalam kasih karunia Allah. Syalom haverim syalom!


[1] www.calvin.edu/about/who-we-are/our-calling.html
[2] Nicholas Wolterstorff lebih menekankan syalom dalam hal damai, keadilan, dan kesejahteraan
[3] Ibid dalam www.calvin.edu/about/who-we-are/our-calling.html
[4] Brian J Walsh dalam Ian Lambert and Suzanne Mitchell (editor), The Crumbling Walls of Certainty, towards a Christian Critique of Postmodernity and Education, (Sydney: Centre for the Study of Australian Christianity, 1997), hlm.13
[5]     Nicholas Wolterstorff, Educating for shalom, Essays on Christian Higher Education (Grand Rapid, WM. B. Eerdmans, 2004), hlm.23
[6]     Ibid. hlm. 11-12
[7] Arthur F. Holmes, The Idea of a Christian College, Revised Edition (Grand Rapids, Michigan: Wm. B. Eerdmans Publishing, 1987), hlm. 102
[8] Gloria Goris Stronks and Doug Blomberg (editor), A Vision with a Task Christian Schooling for Responsive Discipleship,  (Grand Rapids, Michigan: Baker Book, 1993), hlm. 29
[9] Adaptasi dari buku 4, filsafat pendidikan sekolah Kristen IPEKA, 2014
[10] Robert W. Pazmino, God Our Teacher, Theological Basics in Christian Education ,  (Grand Rapids, Michigan: Baker Book, 2001) hlm. 168
[11] Harro Van Brummelen, Berjalan Bersama Tuhan di Dalam Kelas, terjemahan edisi ketiga (Surabaya: ACSI, 2009), hlm 79