Worldview dan Filsafat
Dalam pendidikan Kristen
Dr. Khoe Yao Tung, MSc.Ed, M.Ed
educatingforshalom@gmail.com; dr.khoe@yahoo.com
Dalam setiap sharing knowledge tentang filsafat pendidikan Kristen yang
menyangkut Christian worldview, saya selalu
diperhadapkan pertanyaan apa beda worldview
dan filsafat? Wajar bila pertanyaan itu mengemuka, karena sering kali kedua
istilah sering digunakan dan saya pergunakan dengan hati-hati, namun sering
kali dipahami oleh peserta yang hadir sebagai entitas yang sama, padahal dua
hal yang berbeda.
Dalam arti yang sederhana, worldview merupakan seperangkat
keyakinan, nilai-nilai penting dalam kehidupan seseorang. Selain pengalaman keseharian,
sistem-sistem filsafat dari para pemikir berbagai aliran filsafat menjadi
masukan bagi pembentukan worldview
seseorang dalam menghadapi kehidupan. Kesadaran akan worldview merupakan salah satu hal terpenting yang dapat diyakini
seseorang dalam memahami kehidupannya, cara berpikir menghadapi kehidupannya.
Dengan kata lain, pengertian akan worldview
merupakan bagian yang esensial untuk mengerti kehidupan mereka.[1]
Hal Worldview
Setiap orang memiliki worldview. Worldview
merupakan persepsi seseorang tentang sesuatu yang spesifik. Worldview dapat terbentuk dari
pengalaman, pengetahuan dan perasaan yang dialami seseorang selama menjalani
kehidupannya, baik disadari atau tidak. Tentu saja worldview dari setiap orang berbeda satu sama lain, walaupun nampak
ada kemiripan. Worldview bukanlah suatu sistem berpikir, hal yang berbeda
dengan filsafat atau teologi yang merupakan sistem berpikir, “worldview are not systems of thought, like
theologies or philosophies” [2]. Pengertian
Worldview mengarah pada kerangka persepsi,
suatu cara melihat sesuatu. Hal yang senada dikemukakan Kenneth Badley[3], ia menyatakan
bahwa worlview sebaga metafora yang
menolong kita memahami pengertian memandang kehidupan. Ia mengumpamakan worldview sebagai “sebuah filling cabinet untuk mengorganisasi
kehidupan,” “suatu peta yang menolong kita menemukan rute aman dalam menghadapi
naik-turunnya kehidupan,” “suatu kompas yang menyediakan arahan atau panduan,”
dan “sebuah kacamata yang menolong kita melihat lebih jelas.” Lebih lanjut
Walsh dan Middleton menyatakan bahwa worldview
bukan hanya vision of life tetapi
juga vision for life, suatu model
dari dunia yang memandu kehidupan manusia yang memiliki worldview tersebut.
Albert Wolters menyebutkan bahwa worldview adalah
kerangka dasar yang komprehensif dari keyakinan tentang segala sesuatu (Worldview is “the comprehensive framework of
one’s basic beliefs about things”. Worldview
memberikan dasar pijak bagi manusia untuk memahami pengalamannya, dan dasar
pijak bagi memutuskan apa yang benar dan
apa yang bermakna dalam pengalaman hidupnya. Worldview seseorang nampak dalam bentuk dari pola, model, dan
kisah. Pola dalam worldview merupakan
kerangka berpikir manusia yang memiliki struktur yang tetap dan kerap berulang.
Model merupakan suatu “contoh, acuan, ragam suatu keputusan atau pendapat yang
akan dibuat atau dihasilkan.” Sedangkan Kisah merupakan rangkaian berbagai data dan
peristiwa yang disusun dalam suatu alur. Norman Geisler dan William Watkins mendefinisikan
worldview sebagai suatu cara melihat
atau menginterpretasikan semua realitas, sebuah kerangka kerja melalui indera
manusia akan kehidupan dan dunianya.
“A worldview is a way of viewing or
interpreting all of reality. It is an interpretive framework through which or
by which one makes sense of the data of life and the world.”[4]
Salah satu buku yang paling banyak
dikutip untuk menjelaskan worldview
adalah The Universe Next Door, A Worldview Catalog tulisan James Sire. Dalam edisi kelima buku tersebut, Sire
menyatakan bahwa worldview sebagai
komitmen, orientasi dasar dari perasaan yang dapat diekspresikan sebagai kisah
atau sejumlah presuposisi (asumsi yang dapat benar, sebagian benar atau salah)
yang dipegang kita (secara sadar atau bawah sadar, konsisten atau tidak
konsisten) tentang dasar konsep atau realitas yang menyediakan sejumlah fondasi
yang menghidupi dan menggerakan kita sebagai makluk hidup.[5]
Tugas pendidikan Kristen di sekolah membangun worldview Kristen bagi murid-muridnya
berbeda dengan pendidikan publik yang lebih membangun worldview sekuler.
Perbedaannya
dapat dibedakan atas:
Worldview sekuler
|
Worldview kristen
|
Sementara
|
Kekal
|
Berkembang
|
Tidak
berubah
|
Bertentangan
dengan sejarah.
|
Sejalan
sejarah
|
Dapat
direvisi
|
Biblikal,
permanen
|
Natural
|
Supernatural
|
Rational
|
Theistic
|
Sekolah Kristen harus membangun worldview dalam setiap proses
pembelajarannya. Berkaitan dengan pembentukan worldview dalam pendidikan Kristen, Cornelius Platinga dalam
bukunya Engaging God’s World: a Christian
Vision of Faith, Learning and Living, menuliskan bahwa semua bagian pendidikan
hidup harus di bawa di dalam Kristus. Dia menuliskan hal ini mengenai pendidikan
tinggi Kristen, namun idenya masih sesuai untuk semua pendidikan Kristen:
“No matter how a Christian college plans to integrate faith,
learning, and services, it will never just conduct education-as-usual – not if
it is serious about Christian education, It won’t even do education-as-usual
with Bible classes tacked on, or education as-usual with prayers before class,
or education-as-usual with a service-learning component and a 10 o’clock chapel
break. No, a solidly Christian college will rise from its faith in Jesus Christ
and then explore the height and depth, the length and breadth of what it means
to build on this faith… For a lifetime of learning and work within the kingdom
of God[6]”
Dalam
terjemahan bebasnya, Tidak peduli bagaimana rencana perguruan tinggi Kristen
mengintegrasikan iman, belajar, dan pelayanannya, mereka tidak akan pernah dapat
melakukan pendidikan ini seperti umumnya, jika tidak serius tentang pendidikan
Kristen, itu tidak dapat dilakukan seperti biasanya dengan memberikan
pendidikan agama Kristen, atau pendidikan yang biasanya dilakukan dengan berdoa
sebelum kelas dimulai, atau pendidikan seperti biasa dengan pelayanan
pembelajaran dan ketika pukul 10 ada jam kebaktian. Tidak, sebuah perguruan
tinggi yang Kristen solid harus bangkit dari iman dalam Yesus Kristus dan
kemudian mengeksplorasi dalam dan tinginya, panjang dan luasnya membangun kehidupan
dalam iman… Untuk terus belajar seumur hidup dan bekerja di dalam Kerajaan
Allah.
David
Noebel dalam bukunya Thinking Like A
Christian,[7]
menyebutkan bahwa setiap bidang keilmuan memiliki pertanyaan-pertanyaan
esensial[8] yang
terkait dengan worldview
Disiplin
keilmuan
|
Pertanyaan
|
Biblical Christian
worldview
|
Teologi
|
Apakah
Allah Ada dan Bagaimana bentuk Allah?
|
Allah Alfa
dan Omega, Allah pencipta. Allah yang kekal, maha kuasa, maha kasih,
berdaulat.
|
Filsafat
|
Apa itu
nyata dan apa itu kebenaran?
|
Allah
sumber kebenaran,
|
Biologi
|
Bagaimana
asal muasal kehidupan
|
Penciptaan
|
Psikologi
|
Apa yang
menjadi natur kemanusiaan?
|
Natur
keberdosaan manusia
|
Ethics
|
Apa itu
benar?
|
Terdapat
kebenaran mutlak, kekal dan absolut
|
Sosiologi
|
Bagaimana
seharusnya masyarakat dibentuk?
|
Keluarga,
gereja dan negara
|
Hukum
|
Apa dasar
dari terbentuknya hukum?
|
Hukum-hukum
alamiah
|
Politik
|
Apa
gunanya suatu pemerintahan?
|
Keadilan,
kebebasan dan keteraturan
|
Ekonomi
|
Apa yang
menghasilkan ekonomi?
|
Penatalayanan
pada kepemilikan
|
Sejarah
|
Bagaimana
menginterpretasikan peristiwa yang terjadi?
|
Berfokus
pada grandstory Allah, historical resurrection
|
Berbeda dengan Filsafat.
Filsafat adalah suatu sistem berpikir. Filsafat
merupakan suatu penetapan pola berpikir tertentu yang sistematis dalam mencari
pemahaman (meaning) tentang sesuatu, bukan berbicara tentang kebenaran. Karena
berbicara tentang makna, maka filsafat harus diuji dalam korespondensi,
koherensi dan pragmatik. Filsafat merupakan upaya berpikir dalam bentuk yang
paling umum dan jalan sistematik dari segala sesuatu dalam alam semesta,
tentang keseluruhan dari realitas. Worldview berbeda dengan Filsafat, namun
terkait erat, terutama pemahaman filsafat dapat memberikan pengaruh bagi
pemahaman worldview seseorang.
Pembagian filsafat atas komponen-komponen sangat
beragam, namun saya lebih menyukai membaginya dalam tiga komponen yaitu:
metafisika, epistemologi, dan aksiologi.[9] Dalam
perspektif Kristiani, filsafat merupakan upaya manusia memahami makna,
panggilan dan arti dari kehidupan, dari kebenaran Firman Tuhan.
Metafisika menjawab dengan sifat-sifat dari
hakikat “what is the ultimate reality”.
Dalam metafisika Kristen ultimate reality adalah Tuhan. Untuk memahami
metafisika kristten terdapat dua kategori, yaitu pernyataan umum dan khusus. Realitas
natural pernyataan umum, “alam semesta yang terbatas menyatakan
ketidakterbatasan pencipta. created
universe (terbatas, temporal, tidak permanen) diciptakan dari uncreated being of God (tidak terbatas,
kekal dan self-existent). Dalam
perspektif Kristen, Firman Tuhan merupakan ultimate reality. Firman
Tuhan merupakan sumber yang menjawab segala pertanyaan metafisika
dalam pandangan pendidikan Kristen, dan menjadi yang merupakan sentralitas
dalam pendidikan Kristen.
Epistemologi Kristen berkaitan dengan pertanyaan “what is the nature of knowledge”. Epistemologi
berkaitan dengan didapatnya sumber-sumber pengetahuan yang menjadi pemikiran
filsafat. Sumber pengetahuan epistemologi dalam perspektif Kristen berasal dari
kebenaran Alkitab. Firman Tuhan menyatakan bagaimana keberadaan kita dan
bagaimana kita ada melalui proses penciptaan. Epistemologi pendidikan Kristen
adalah Firman Tuhan. Alkitab dalam Mazmur 119:105 memberikan landasan bagi ini dalam
epistemologi tugas panggilan sebagai seorang pendidik. Firman Tuhan sebagai
suatu kesatuan (unity) dalam Firman yang berkenaan dengan penciptaan, Firman
yang hidup yang berinkarnasi dalam Yesus Kristus (Yoh. 1:14), Firman
yang dituliskan menuntun manusia (2 Tim. 3:16).
Roh Allah yang memimpin para rasul
untuk menuliskan firman. Aspek aksiologi, pendidikan Kristen bertumpu pada panggilan pelayanan pendidikan yang mencintai Tuhan, mencintai sesama manusia, mencintai
Firman Tuhan dan hukum-hukum Tuhan. Analogi filsafat Kristen dalam
aspek-aspek filsafat terkait dengan “Akulah jalan dan kebenaran dan hidup.
Tidak ada seorang pun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku” (Yoh.
14:6). Hal ini terkait aspek metafisika perspektif kristen “jalan,” aspek epistemologi
dari perspektif kristen “kebenaran”, dan aspek aksiologi dari perspektif
kristen “hidup.”
Kerangka worldview Kristen
Alkitab adalah satu-satunya worldview dari
kekristenan. T.S. Eliot menyebutkan bahwa seseorang yang memiliki worldview Kristen adalah seesorang yang
berpikir dalam jalur tindakan kekristenan “Thinking
in Christian categories”[10]. Alkitab
yang terdapat dalam Mazmur 19:8 menyebutkan bahwa “Taurat TUHAN itu sempurna, menyegarkan jiwa; peraturan TUHAN itu
teguh, memberikan hikmat kepada orang yang tak berpengalaman.”
Alkitab mengingatkan kita, bahwa banyak pengaruh
yang akan menyesatkan dalam pembentukan worldview seseorang. Banyak filsafat
yang mempengaruhi kehidupan kita yang tidak berasal dari Firman Tuhan
menyimpang dari kebenaran Alkitab. Bagi kekristenan dasar dari worldview Kristen adalah Tuhan Yesus. “Kamu telah menerima Kristus Yesus, Tuhan
kita. Karena itu hendaklah hidupmu tetap di dalam Dia. Hendaklah kamu berakar
di dalam Dia dan dibangun di atas Dia, hendaklah kamu bertambah teguh dalam
iman yang telah diajarkan kepadamu, dan hendaklah hatimu melimpah dengan
syukur” (Kol 2:6-7).
Terdapat satu kerangka grandstory Alkitab bagi orang Kristen untuk dapat memahami worldview Kristen. Panduan grandstory, rencana Allah pada pada
kehidupan manusia dalam kerangka grandstory Creation
Fall Redemption dan Consummation memberikan
experience-learning bagi kehidupan
keseharian dalam cara berpikir Kristen. Alkitab dalam bagian-bagian firman Tuhan
menyatakan agar kita memiliki worldview Kristen agar tidak tersesat. “Hati-hatilah,
supaya jangan ada yang menawan kamu dengan filsafatnya yang kosong dan palsu
menurut ajaran turun-temurun dan roh-roh dunia, tetapi tidak menurut Kristus” (Kol.
2:8). “Tetapi kamu, saudara-saudaraku
yang kekasih, kamu telah mengetahui hal ini sebelumnya. Karena itu waspadalah,
supaya kamu jangan terseret ke dalam kesesatan orang-orang yang tak mengenal
hukum, dan jangan kehilangan peganganmu yang teguh. Tetapi bertumbuhlah dalam
kasih karunia dan dalam pengenalan akan Tuhan dan Juruselamat kita, Yesus
Kristus. Bagi-Nya kemuliaan, sekarang dan sampai selama-lamanya” (2 Pet.
3:17-18). “Usahakanlah supaya engkau
layak di hadapan Allah sebagai seorang pekerja yang tidak usah malu, yang
berterus terang memberitakan perkataan kebenaran itu” (2 Tim. 2:15).
[1] Ronald H. Nash, Konflik Wawasan Dunia, terjemahan (Surabaya: Penerbit Momentum,
2008), hlm. 21
[2] Brian J. Walsh dan J. Richard Middleton, The transforming vision: Shaping a Christian world view (Downer
Grove, Illinois: Intervarsity Press, 1984), hlm. 17
[3] Kenneth Rae Badley, Worldviews: The challenge of choice (Concord, Ontario: Irwin
Publishing, 1996), hlm. 17
[4] Norman L. Geisler and
William D. Watkins, Worlds Apart
(Baker Book House, Grand Rapids, 1989), hlm.11
[5] (Downer Grove, Illinois:
Intervarsity Press, 2009), hlm.20
[6] (Grand
Rapids, MI: Eerdmas Publishing Company, 2002), hlm. xiv
[7] Thinking Like A Christian, understanding and living a Biblical
(Nashville, Tennessee: B&H Publishing, 2002), hlm. 4-7
[8] Bandingkan dengan delapan
pertanyaan dari buku James Sire, The Universe Next Door, edisi pertama, yang
mempertanyakan: Realitas yang terutama, kehidupan kekal, natur manusia,
bagaimana kemungkinan memahami segala sesuatu, bagaimana setelah kematian, bagaimana
kita mengenal benar atau salah, makna sejarah manusia, implikasi kehidupan.
Delapan pertanyaan yang hampir mirip dengan David Noebel.
[9] Khoe Yao Tung, Filsafat Pendidikan Kristen Di tengah
tantangan Filsafat dunia dalam praksis pendidikan (Yogyakarta: Penerbit
Andi, 2012), hlm. 6
[10] T.S Eliot, The Idea of a Christian Society (New
York: Harcourt Brace, 1940), hlm.26
Tidak ada komentar:
Posting Komentar