Jumat, 29 Mei 2015

Why are we Here?



Why are we here?
Dr. Khoe Yao Tung, MSc.Ed, M.Ed


Why are we here? adalah judul dari sebuah kepingan video CD, sebuah visualisasi film pelayanan misi dari Grace International school (GIS), Chiangmai Thailand. Kepingan CD itu merupakan souvenir yang saya dapatkan ketika saya berkunjung ke Chiangmai. Menariknya GIS adalah sekolah yang diperuntukkan bagi anak-anak misionaris, Christian workers dalam mendukung pelayanan mereka di seluruh wilayah Asia Tenggara dan beberapa Negara Asia lainnya. Bagaimana pergumulan mereka dalam mendukung pelayanan bagi 356 keluarga misionaris di berbagai wilayah Asia Tenggara, digambarkan dalam bentuk penjelasan video singkat why are we here? Di Indonesia, saya pernah mendapati pelayanan sekolah yang mendukung pendidikan anak-anak bagi misionaris ekspat  yaitu Bandung Alliance International School dan Mountainview International Christian School di Salatiga.
Why are we here? menjelaskan misi pelayanan berbentuk calling, ministry dan evangelism pendidikan Kristen. Menariknya guru-guru yang melayani anak-anak misionaris disana adalah para misionaris yang tidak mendapat “upah” pelayananan dari GIS, mereka tidak dibayar sama sekali, karena semua kehidupan para guru misionaris tersebut dipenuhi oleh institusi yang mengutusnya. Walaupun berbentuk pelayanan dalam arti sepenuhnya, GIS dikelola sangat professional dengan gedung yang cukup megah termasuk sarana pembelajaran seperti tech-art workshop, squash ball, lapangan bola, kolam renang berbagai ukuran, beragam ekstra kurikuler, dan special need services. Proyeksi luas bangunan kampus baru yang sedang dalam taraf pembangunan seluas 33 acres[1], karena lahan yang ada sudah tidak memadai. Menariknya, dari sisi akademis sekolah ini sudah terakreditasi internasional WASC[2] (Western Association of Schools and Colleges) dan ACSI (Association of Christian Schools International), termasuk menawarkan program unggulan Advanced Placement (AP) dalam sepuluh subjek mata pelajaran berprogram AP.
GIS didirikan pada tahun 1999, mulanya beroperasi dengan 176 murid yang bangunan kelasnya berawal dari gedung Sport’s club. Tuhan memberkati pelayanan mereka, sekarang mereka memiliki 560 murid dengan populasi 49% anak misionaris Amerika dan 51% anak misionaris dari berbagai Negara. Tak ayal lagi Chiangmai adalah salah satu kota yang menjadi kunci bagi misi pelayanan di berbagai Negara di Asia. Chiangmai, yang merupakan kota kedua di Thailand adalah basis dari pelayanan misionaris di Asia Tenggara, banyak organisasi pelayanan Kristen yang hadir di Chiangmai. Disinilah mereka melakukan orientasi, perencanaan, pelatihan, dan aktivitas misi di berbagai Negara termasuk penginjilan di Negara Cina.
Bagaimana spirit dan misi pelayanan sekolah Kristen kita? Adakah amanat penginjilan pada pelayanan pendidikan Kristen kita? Apakah misi ketika kita mendirikan sekolah Kristen? Why are we here? Jika Kebenaran Alkitab digunakan sebagai dasar keberadaan dari sebuah sekolah Kristen, maka semua proses pendidikan pada sekolah Kristen harus berdasarkan pada kebenaran firman Tuhan, termasuk amanat penginjilan yang menyatakan misi Tuhan Yesus menyelamatkan manusia yang berdosa. Tidak ada alasan lain bagi keberadaan sekolah Kristen kalau bukan bersandar pada kebenaran Firman Tuhan. Keberadaan sekolah Kristen adalah keberadaan misioner, keberadaan dari amanat penginjilan, keberadaan dari pewahyuan, dan bukan pada alasan yang dinyatakan manusia. Alkitab menyatakan suatu mandat penginjilan suatu amanat agung yang menggetarkan setiap orang beriman “Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah  mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu   senantiasa sampai kepada akhir zaman." (Mat. 28:19-20)
     Sekolah Kristen berbeda dengan sekolah sekuler. Sekolah Kristen dan pendidik yang ada di dalamnya bukanlah berasal dari dunia, namun Tuhanlah yang memilih bagi penatalayan pendidikan Kristen di tengah dunia. Alkitab menuliskan Sama seperti Engkau telah mengutus Aku ke dalam dunia, demikian pula Aku telah mengutus mereka ke dalam dunia” (Yoh. 17:18). “Sekiranya kamu dari dunia, tentulah dunia mengasihi kamu sebagai miliknya. Tetapi karena kamu bukan dari dunia, melainkan Aku telah memilih kamu dari dunia, sebab itulah dunia membenci kamu” (Yoh.15:19). Keberadaanya berasal dari kasih anugerah Tuhan yang misioner, oleh karena itu sekolah Kristen bertujuan mempersiapkan murid-muridnya untuk kehidupan masa mendatang dan kekekalan. Sekolah Kristen mempersiapkan murid-muridnya dibentuk untuk memahami realitas ciptaan Tuhan dalam perspektif Kristen (Christian mind).
      Pendidikan Kristen adalah pendidikan yang lahir karena suatu misi. Sekolah Kristen adalah sekolah yang lahir karena panggilan Kristus. Seberapa kuat misi kita dalam tugas pendidikan akan nampak dari kualitas kita memberikan pelayanan sekolah Kristen. Tugas sekolah Kristen memberikan pelayanan pendidikan, pembinaan, pemeliharaan dan pengajaran dalam Christian formation dan Christian nurturing. Fokus pendidikan Kristen haruslah mengajarkan kebenaran Firman Tuhan yang menyatakan Allah Bapa sebagai pencipta manusia dan segala isinya, menyatakan Tuhan Yesus Kristus sebagai Anak Allah yang datang ke dunia menebus dosa manusia, memulihkan gambar dan rupa Allah yang sudah rusak akibat dosa, serta mengajarkan pimpinan roh kudus dalam membimbing murid yang lahir baru dalam menerima Tuhan Yesus Kristus.
      Tayangan video “Why are we here?”gema  spirit dari video GIS yang berdurasi tiga menit begitu kuat menyatakan misinya yaitu mendukung total para orangtua misionaris untuk bekerja penuh dalam pelayanan ministries. Keberadaanya GIS begitu kuat dalam misinya untuk mendukung semua pelayanan ministry dari orangtua mereka. Diantara para orangtua misionaris mereka melayani pelatihan militer dan polisi dalam praksis etika keseharian tugasnya, ada yang mengajar bahasa Inggris untuk perempuan narapidana, ada yang membina dan menyelamatkan anak-anak dari trafficking, prostitusi dan perlindungan anak, ada yang bertugas mendidik dan mengembangkan entrepreneur bagi perkabaran injil, ada yang menyuluh dan mendidik bahaya penyakit HIV dan masih banyak lagi.  Sekolah ini membantu anak-anak misionaris dibentuk menjadi generasi baru pemimpin Kristen. Murid-murid GIS dilatih dalam kegiatan akademis, musik, seni, dan olahraga. Mereka juga mengajar bahasa Inggris dan seni bagi murid-murid Thailand, menggalang dana bagi bencana, membantu pengungsian, serta masih banyak lagi pergerakan misi sosial lainnya.
Bagaimana misi pendidikan sekolah kita? Apakah daya juang dalam misi penginjilan berbentuk lembaga pendidikan masih ada dalam sekolah-sekolah Kristen di perkotaaan? Bagaimana dengan gema suara dari “How will you help if you are not there?” sebuah ajakan bergabung untuk menjadi pendidik dari yayasan pendidikan Kristen Wamena, sebuah yayasan pendidikan Kristen lokal di tengah pulau Papua. Saya jadi teringat visitasi saya untuk melihat pelayanan pendidikan yayasan MIKA (Milik Kita Bersama), sebuah yayasan yang mengelola Sekolah Kristen Makedonia di tengah pedalaman Kalimantan Barat. Setelah mendarat ke Pontianak kami harus berkendaraan sejauh kurang lebih 170 km, atau berkisar tiga jam ke dusun Jamai, Kecamatan Ngabang, Kabupaten Landak, tempat sekolah ini didirikan. Sekolah Makedonia didirikan tahun 2003 juga menyediakan lahan asrama bagi putra dan putri, Balai Latihan Kerja (jahit-menjahit), lahan pertanian, perikanan yang juga pemenuhan swasembada pangan dan ikan untuk kebutuhan sehari-hari. Sekolah tersebut menjadi bagian dari misi dari seorang hamba Tuhan pdt. Bigman Sirait, dan kini menjadi berkat bagi suku Daya di Kalimantan karena sekolah ini terkenal akan kualitas pendidikannya yang menonjol. Jelas suatu misi bagi panggilan pekabaran injil dalam bidang pendidikan yang hanya ada bagi setiap orang beriman.
Saya juga terkesan pelayanan Gema Kasih Yobel yang mendirikan Sekolah Kristen Yobel berupa sekolah dan panti asuhan bagi orang-orang miskin. Suatu pelayanan amanat penginjilan misioner di Nias, Lubuk Lingau, Singkawang, Palembang, Bekasi, dan wilayah-wilayah terpencil lainnya. Pelayanan yang membebaskan masyarakat disekitarnya dari kemiskinan, kepapaan, dengan pelayanan iman dan pelayanan pendidikan. Pelayanan Yobel ini diprakarsai oleh pdt. Dr. William Ho, dengan mengandeng jemaat dari gereja-gereja Kristus Yesus, dan sekolah Kristen IPEKA
Terbayang juga sewaktu kunjungan pelayanan saya ke Manado, dengan beberapa rekan, saya sempat berada di sekolah Betzata (yang merupakan kata asli dari Bethesda), untuk tiga hari dua malam. Berada dalam sebuah sekolah yang disebut “rumah dan sekolah” Betzata, asuh, bina, dan didik  sebuah misi injili di bawah asuhan hamba Tuhan Pdt. Dr. Buby Ticoalu. Rumah Asuh Bina Didik (ABD) Betzata, lokasinya 34 km dari kota Manado terletak  di daerah penggunungan di desa Leilem, Kecamatan Sonder, Minahasa yang terletak di daerah pegunungan di atas sembilan ratus meter di atas permukaan laut. Luas rumah dan sekolah tersebut hanya berluas sebesar 2,4 hektar. Karena di daerah pegunungan udaranya sejuk, sangat ideal bagi anak-anak untuk tinggal, sekolah dan memahami kebenaran Firman Tuhan. Mereka tinggal di asrama Rumah dan Sekolah yang diperuntukkan untuk anak miskin dan anak anak yang tidak memiliki orangtua lagi. Sungguh sangat ideal dalam membangun Christian nurture dalam diri anak-anak. Sebuah panggilan misi mulia dalam pelayanan pendidikan.
            Masih banyak panggilan misi pelayanan pendidikan Kristen pada beberapa sekolah Kristen di Indonesia, bahkan dalam kondisi yang sangat memprihatinkan dan memilukan dari lembaga pendidikan Kristen di Papua, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, baik di pedalaman, pengunungan, hutan, dan pedesaaan, namun mereka tetap setia dalam misi penginjilan bagi Kristus (Messianic Mission). Namun demikian semangat misi  penginjilan yang berbungkus pendidikan tersebut perlu dibarengi dengan filsafat, prinsip-prinsip, dan teori-teori pendidikan Kristen yang berdasar pada kebenaran Firman Tuhan. Implementasi filasafat pendidikan Kristen memberikan panduan spiritual bagi pelayanan pendidikan Kristen tersebut. Masihkah lembaga pendidikan Kristen di daerah perkotaan menyia-nyiakan berkat dan fasilitas yang Tuhan berikan bagi penginjilan? Masihkah kita menyediakan pendidikan yang tidak berkualitas, ataukah kita sudah memberikan pelayanan pendidikan yang misioner, suatu misi yang Tuhan sudah mandatkan kepada kita yaitu menyatakan Tuhan sebagai sumber hikmat dan pengetahuan.
     
Penutup
            Allah menyatakan misi keberadaan kita di dunia, Tuhan memberikan kepada kita suatu kesempatan dan kerinduan menyampaikan pesan. “pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku”, menyatakan suatu perintah, bahwa kita diciptakan untuk suatu misi, tujuan kita adalah memberitakan pesan Allah melalui penginjilan. Sekolah Kristen bertujuan memberitakan pesan Allah melalui ministry dan evangelism. Tuhan memperlengkapi kita dengan kuasa dan penyertaan Roh Kudus untuk misi penginjilan dalam ladang pelayanan-Nya.  Tetapi kamu akan menerima kuasa, kalau Roh Kudus turun ke atas kamu, dan kamu akan menjadi saksi-Ku di Yerusalem dan di seluruh Yudea dan Samaria dan sampai ke ujung bumi" (Kis 1:8, Mrk 16:15). Bagaimana dengan lembaga pendidikan di sekolah Kristen, masihkan gema penginjilan masih tertanam dalam setiap insan pendidikan di dalamnya?
      Orang Kristen dipanggil karena suatu misi mulia, suatu kesaksian untuk membangun relasi sehingga Roh Kudus dapat diam di hati setiap manusia. Pendidik Kristen mendapat suatu hak khusus untuk membangun relasi antara murid dengan Tuhan Yesus, melalui kehidupan dalam keteladanan, melalui kehidupan lahir baru seorang pendidik. “Sebab Injil yang kami beritakan bukan disampaikan kepada kamu dengan kata-kata saja, tetapi juga dengan kekuatan oleh Roh Kudus dan dengan suatu kepastian yang kokoh. Memang kamu tahu, bagaimana kami bekerja di antara kamu oleh karena kamu”(1 Tes. 1:5). Sesungguhnya pendidik Kristen memiliki kesempatan yang lebih banyak dalam membagikan pesan kehidupan Kristus melalui proses pendidikan.




[1] Untuk 1 acres = 4046,85 meter2, untuk mudahnya dikonversi ke hektar, dikalikan nilai 0,4.
[2] Termasuk satu dari enam lembaga regional akreditasi sekolah di Amerika Serikat, lembaga akreditasi yang juga digandeng oleh ACSI.  Lima lainnya adalah  Middle States Association of Colleges and Schools (MSASC), New England Association of Schools and Colleges (NEASC), Northwest Commission on Colleges and Universities (NWCCU),  North Central Association of Colleges and Schools (NCA),  Southern Association of Colleges and Schools (SACS)

Kamis, 28 Mei 2015

Model Integrasi Iman dan Ilmu



Model integrasi iman dan ilmu
dalam kurikulum Kristen
Dr. Khoe Yao Tung, M.Sc.Ed, M.Ed.


                Sekolah Kristen dapat dikatakan “The Truly Christian School” bila kurikulum pendidikannya tidak terlepas dari pelaksanaan integrasi[1] prinsip iman Kristen dalam setiap subjek pelajaran. Pelaksanaan integrasi Alkitab dalam pembelajaran terkait dengan pembinaan murid-murid dalam Biblical worldview, Christian Mind, Christian nurturing dan Christian formation. Sekolah Kristen harus menyajikan integrasi subjek pelajaran yang mampu menghasilkan cara berpikir Kristen dalam penatalayan perannya di dalam kehidupan murid-muridnya. Mereka perlu memahami seluruh kebenaran Alkitab dalam rangkaian Creation, Fall, Redemption, and Consummation, sehingga core subjek keilmuan dapat memancar dalam perspektif yang utuh. Keberadaan kerangka ini akan memandu setiap siswa dalam berpikir dan berperilaku Kristen dalam menjalankan mandat budaya dan mandat injili.
Integrasi iman dan ilmu dalam kurikulum pendidikan Kristen harus menjadi fokus utama dalam sekolah Kristen. Menurut Robert Haris,[2] Integrasi iman dan ilmu adalah kegiatan yang dilakukan oleh setiap orang untuk memahami kebutuhan pada pandangan dunia yang koheren. Bagi orang yang beriman klaim yang mempertentangkan iman dan ilmu adalah sesuatu yang tidak masuk akal. Selanjutnya, pendidik Kristen perlu memahami iman sebagai sejumlah kepercayaan dasar, preferensi, dan asumsi yang menuntun kehidupan seseorang. Oleh karenanya semua pendidik Kristen perlu memahami bagaimana mengintegrasikan dan mengimplementasikan kebenaran firman Tuhan dalam subjek pelajaran di dalam kelas. Integrasi iman dan ilmu dalam sekolah Kristen adalah mandat penting. Alkitab menekankan mandat tersebut dan menyatakan bahwa “Aku akan mengadakan perjanjian antara Aku dan engkau serta keturunanmu turun-temurun menjadi perjanjian yang kekal, supaya Aku menjadi Allahmu dan Allah keturunanmu” (Kej 17:7).
Integrasi Alkitab harus mengaitkan setiap pembelajaran dengan mandat penciptaan, mandat budaya, dan mandat penginjilan. Integrasi yang harus mengungkapkan kebenaran Tuhan, dan rencana Allah dalam setiap kehidupan muridnya. Bahkan John Calvin (1509-1564) menyatakan bahwa tidak ada bagian dari Alkitab yang tidak dapat berkontribusi yang menjadi petunjuk bagi pembentukan perilaku dan kehidupan kita.
“There is no part of the Scripture which cannot contribute to our instruction and the forming of our life and manners… Let us, therefore, labor diligently to learn the contents of the Book of God, and never forget it is the only writing in which the Creator of heaven and earth condescends to converse with mankind.”[3]
Frank Gaebelein dalam bukunya yang sangat berpengaruh dalam integrasi Alkitab dalam pendidikan Kristen The Pattern of God’s Truth, menyatakan definisi integrasi sebagai suatu kesatuan hidup dari materi pelajaran, administrasi, dan bahkan pendidik Kristen, dengan pola yang kekal dan tak terbatas Kebenaran Allah.[4] Gaebelin secara tegas menuliskan pandangannya tentang pendidikan Kristen, yang tidak sebatas dinding sekolah, tetapi suatu proses yang berkelanjutan dalam hidup seseorang. Penginjilan yang tidak tertarik dalam pendidikan Kristen hanyalah setengah penginjilan. kita terpanggil  untuk menjadi utusan-utusan Kristus  yang harus menjadi perhatian, sesuatu yang begitu vital terkait dengan tujuan kita sebagai pendidikan Kristen.
One of the commonest misconceptions of education is that which limits it to the four walls of the schoolroom or, to broaden the figure, to the acreage of campus. In reality, however, education is a continuing process as broad as experience itself, and one in which all who have contact with youth share, either consciously or unconsciously. Therefore, it follows that a ministry not interested in education is only half ministry, and that we who are called to be ambassadors for Christ cannot but be deeply concerned with something so vitally linked to our cause as Christian education.[5]

Beberapa pandangan pendidik Kristen
pandangan dari tokoh pendidikan Kristen tentang Integrasi kebenaran Firman Tuhan dalam setiap subjek pembelajaran. Penggunaan Firman Tuhan dalam subjek dapat sesuai dengan mata pelajaran tersebut, memberikan inspirasi, memberikan wawasan, kesesuaian dan memberikan dorongan. Model integrasi Alkitab dalam subjek pelajaran dapat dikelompokan menurut tokoh pendidikan Kristen.

Model Bryan Smith
Bryan Smith dari Bob Jones University dalam papernya berjudul Biblical Integration: Pitfall and Promise mengkategorikan tahapan integrasi dalam Kurikulum Berbasis Alkitab dalam proses pembelajaran.  Bryan Smith menyebutkan empat jenis tahapan integrasi Alkitab berikut: [6]
Tahapan 0: Relegating[7] the Bible, Pada umumnya pendekatan ini paling sering terjadi pada banyak sekolah Kristen. Pada tahapan ini, sekolah belum menggunakan integrasi Alkitab dalam proses pembelajaran. Tingkatan ini ditandai dengan melepaskan kebenaran Alkitab dalam setiap kegiatan pembelajaran. Kalaupun ada pernyataan Alkitab yang dikutip, tidak ada hubungan yang jelas dengan subjek pelajaran ataupun kegiatan akademik. Bryan Smith berpendapat bahwa integrasi Alkitab belumlah terjadi sampai murid dapat belajar bagaimana Alkitab memiliki relevansi dengan subjek yang dipelajari. Tahapan ini dapat terjadi karena kurangnya visi dan misi pendidikan Kristen pada sekolah. Salah satu kekeliruan besar yang sangat mungkin terjadi dalam pendidikan Kristen saat ini adalah tidak adanya suatu tujuan yang jelas di dalam pendidikan Kristen. Wilhoit menganalisis bahwa banyak orang yang terlibat langsung di dalam pembelajaran seperti guru subjek, guru Alkitab, konselor sekolah, namun mereka sering sekali tidak mempunyai tujuan dalam keseharian yang mereka kerjakan. Mereka hanya mengatakan bahwa mereka mengajarkan Alkitab, namun pengajaran Alkitab yang diberikan hanyalah rutinitasnya sendiri tidak memiliki mandat injil dan bahkan mempunyai arti yang berbeda-beda[8]
Tahapan 1: Referencing the Bible ,Pendekatan pada tahapan ini menggunakan referensi Alkitab bersamaan  mengajarkan subjek yang dipelajari. Ada dua jenis tahapan pada integrasi jenis ini. Pertama, menggunakan analogi Alkitabiah. Bila guru mengajarkan metamorfosis dalam sains, ia dapat menggunakan analogi pertumbuhan iman Kristen yang kudus. Analogi Alkitabiah sangat berguna tetapi sering sekali melahirkan permasalahan berkaitan dengan ketepatan dari analogi yang digunakan. Alasan berikutnya analogi Alkitabiah dapat membantu murid mengingat kebenaran Alkitab ketika murid belajar sains, sejarah ataupun bahasa. Namun analogi Alkitabiah tidak menolong anak untuk terhubung dengan subjek pada mandat penciptaan, tidak membantu anak dalam hidup yang telah ditebus dalam dunia yang penuh dosa. Kedua, integrasi hanya berfokus pada kisah Alkitabiah. Guru dapat menggunakan kisah Alkitabiah, untuk menjelaskan beberapa konsep. Konsep tentang ironi dapat menggunakan kisah Yusuf dan Yudas. Untuk membuktikan pengukuran π (pi), guru dapat menggunakan pembangunan bait Allah (1 Raja-raja 7:23). Namun demikian narasi yang digunakan pada kisah Alkitab harus memperhatikan relevansi dan kesesuaian dengan subjek pelajaran yang sedang dipelajari.
Tahapan 2: Responding with the Bible, Pendekatan pada tahapan ini merupakan respon terhadap Alkitab dalam kegiatan akademik. Pendekatan jenis ini menggunakan Alkitab sebagai panduan untuk setiap disiplin akademik dalam situasi kehidupan keseharian. Guru dapat menggunakan Alkitab untuk menolong murid dalam menghubungkan setiap kegiatan akademik dengan menaati mandat penciptaan dan mengasihi sesama manusia. Seorang guru sains akan dapat mengajarkan muridnya pada penggunaan energi yang ramah lingkungan. Seorang guru literatur dapat menggunakan puisi untuk menolong manusia berhadapan dengan kenyataan setelah kematian. Pada tingkatan ini guru dapat mengajarkan muridnya untuk menggunakan panduan Alkitab bagi subjek akademik untuk Kemuliaan Tuhan. Pendekatan ini akan lebih efektif bila pembelajaran berkaitan dengan keseharian hidup murid. Namun demikian guru tidak dapat mengharapkan referensi tentang mandat penciptaan atau memuliakan Tuhan secara eksplisit dalam keseharian pembelajaran.
Tahapan 3: Rebuilding with the Bible, Pendekatan ini membangun kembali ground motive dari subjek pelajaran yang sekuler dalam kerangka dan perspektif Alkitab. Kejatuhan manusia dalam dosa berakibat pada tercemarnya akal budi manusia dalam dosa, termasuk dalam aktivitas kegiatan manusia dan sekularisasi subjek pelajaran yang diberikan. Langkah pertama yang dapat dilakukan dengan memulai pertanyaan tentang  asumsi yang digunakan. Pertanyaan-pertanyaan yang digunakan berkaitan dengan perbandingan entitas religius dan sekuler berkaitan dengan kebenaran (kemutlakan, keobjektifan), pengetahuan, iman, dan akal budi.  Dalam pendekatan ini para guru berupaya untuk mengembalikan atau menguduskan pemikiran sekuler muridnya ke subjek akademik dengan presuposisi kerangka Alkitabiah. Dalam kata-kata yang disampaikan oleh John Henry Newman, ”Religious truth is not only a portion but a condition of general knowledge”[9]
            Integrasi iman dalam subjek pelajaran harus dapat menjelaskan suatu subjek pembelajaran, proses-proses creation, fall, redemption, dan consummation menjadi ide sentral pendidikan dalam perspektif iman Kristen. Ide ini dilanjutkan dengan penjelasan kedalaman hati manusia dan keluasan ciptaan Tuhan di dalam berbagai aspek realitas ciptaan Tuhan. Integrasi iman dan ilmu dapat diperankan melalui kehidupan dan keteladanan pendidik (life of the teacher), kurikulum, budaya, dan kebijakan sekolah serta teachable moment[10].       

Model Martha Macculough
Martha E. Macculough, Ed.D dari Philadelphia College of Biblical Graduate School, Center for Leadership Development (sekarang Cairn University) menyebutkan bahwa integrasi Alkitab dapat merupakan integrasi berjenis subject to subject, subject to life dan subjek to worldview. Dalam bahasan integrasi  ke dalam subjek pelajaran terdiri atas  tiga model integrasi.[11] Model interpersonal, model ini mengasumsikan bahwa guru dapat dengan sendirinya mengintegrasikan bagian Alkitab dalam tema bahasan. Guru membuat relasi yang menghasilkan integrasi iman dalam subjek pelajaran.  Model interpersonal bukanlah model yang ideal bagi sekolah Kristen. Misi sekolah Kristen tidaklah cukup dipenuhi dengan kebergantungan dari guru Kristen semata, tidak cukup hanya menempelkan seperangkat nilai yang pada tema yang dibahas. Integrasi harus merupakan suatu keutuhan, hal ini dapat dicapai melalui desain strategis dari suatu kurikulum.
Model paralel, model ini menyatakan ada keparalelan dari dua subjek pelajaran yang pemahaman berjalan beriringan. Model paralel menganalogikan dua pemahaman seperti dua garis paralel yang tidak pernah bersinggungan.  Kedua garis paralel ini berupa dua pemahaman paralel antara prinsip iman dengan pengetahuan sekuler, pengetahuan publik dan spesifik, rasio dan iman, ataupun wahyu umum dan wahyu khusus. Namun demikian hal ini dapat mengakibatkan penyimpangan dalam prinsip kekristenan, tidak ada dua hal yang terpisah dalam perspektif iman, oleh karenanya perlu usaha terencana untuk membawa kedua hal tersebut di atas kepada suatu kesatuan dalam perspektif kristiani.  Prinsip iman Kristen harus mengupayakan sumber-sumber pengetahuan dalam pemahaman kerangka Alkitab sebagai sumber kebenaran.
Model inti terintegrasi (The integrating core model). Pada model inti terintegrasi ini, setiap bahasan dimulai dari suatu kesatuan atau keutuhan  presuposisi Kristen tentang dunia dan kehidupan keseharian. Inti dalam suatu keutuhan itu mengarah pada pengetahuan, berlanjut pada keahlian dan sikap dalam berbagai subjek pelajaran. Kemudian keahlian dan sikap direfleksikan kembali sampai didapatkan subjek pelajaran yang terintegrasi pada kebenaran firman Tuhan. Maccullough berpendapat bahwa model ini adalah dasar dari pengajaran. Murid dapat mengembagkan pemahaman keutuhan kebenaran dan pembelajaran.

Model “makanan” Harro Van Brummelen
Harro Van Brummelen[12], mantan dekan fakultas pendidikan pada Trinity Western University, Langley British Colombia, Kanada menyebutkan bahwa terdapat empat model integrasi berkaitan dengan isi subjek pelajaran. Karakteristik dari integrasi kurikulum dapat dimasukkan dalam empat tipe makanan yaitu “turkey dinner”, pizza, soup dan potluck dinner.[13]
Model integrasi “turkey dinnermengintegrasikan isi pelajaran dari berberapa subjek pelajaran sedemikian rupa sehingga tema-tema yang serupa dapat dipadukan. Guru menyelaraskan isi kurikulum sehingga mereka hanya berurusan dengan tema yang sama di bidang studi yang berbeda. Piring berisi beberapa makanan yang terpisah digabungkan dan diidentifikasi dalam sekali makan malam.
Model integrasi pizza memiliki program studi tertentu atau disiplin subjek sebagai isi utama, dengan topping tambahan ditambahkan untuk membumbui presentasi dan menambahkan asesoris pembeda. Dalam pelajaran bahasa, beberapa unit pengajaran membahas isi dasar  bahasa yaitu sastra, bahasan sastra terkait membahas perspektif lain seperti seni, musik, dan peristiwa sejarah dari sezaman penulis.
Model integrasi soup melibatkan keterampilan mencampur dua atau lebih mata pelajaran  dalam  suatu proyek sehingga mata pelajaran asalnya dengan sendirinya hampir tidak nampak. integrasinya lebih terfokus pada hasil gabungannya. Proyek integrasi tersebut mengambil perencanaan yang khusus dalam blok waktu yang lebih panjang. Sementara murid menikmati pengalaman belajar yang luar biasa dari jenis ini, struktur isi pembelajaran asalnya hilang, isinya sedikit berkurang,  mengharuskan murid untuk  mengambil tes perkembangan prestasi.
Model integrasi keempat dalam terminologi Van Brummelen adalah potluck dinner (makan malam seadanya). Ia menggunakan metafora ini untuk menggambarkan rancangan unit tematik untuk meningkatkan upaya murid lebih baik lagi dalam proses pembelajaran berikutnya. Dalam perayaan hari Kartini, model integrasi potluck dinner memulainya dengan perencanaan dan penyiapan kostum khusus, makanan, seni, drama produksi, dan pembuatan video sejarahnya.

Model subjek terpisah Allan Glatthorn[14]
Allan A. Glatthorn, guru besar emeritus pada jurusan pendidikan East Carolina University, menyebutkan terdapat empat cara untuk mengintegrasikan kurikulum dengan mempertahankan subjek pelajaran yang terpisah.
Correlation (Korelasi), metode korelasi digunakan untuk memastikan bahwa kurikulum dari dua subjek pelajaran terkait (seperti ilmu pengetahuan dan matematika atau ilmu sosial dan seni bahasa Inggris ) dapat  dikembangkan sehingga isi materi pembelajaran saling mendukung satu sama lain. Sebagai contoh, murid membaca sastra kolonial di kelas bahasa Inggris saat mereka sedang mempelajari masa kolonial dalam studi sosial.
Skills across the curriculum (Keterampilan di seluruh kurikulum), kurikulum dapat dibuat lebih kohesif sehingga subjek pelajaran memastikan terdapat keterampilan seperti membaca, menulis, dan kemampuan belajar yang memperkuat seluruh kurikulum tidak terbatas pada apresiasi bahasa dan tata bahasa.
Unified curricula (mempersatukan kurikulum). Istilah ini menunjuk desain kurikulum untuk mata pelajaran yang diberikan sehingga pembagian subjek dapat diminimalkan dan lebih menekankan sifat keseluruhan. kurikulum terpadu dapat berupa penggunaan tematik bagi subjek bahasa dan ilmu pengetahuan.
Informal integration (Integrasi informal). Dalam model ini, guru membawa konten dari satu subjek,  sementara menekankan keterampilan dan konsep-konsep lain . Dengan demikian, seorang guru SD mengajar materi pengetahuan sosial tentang Korea, namun secara informal akan memberikan pengetahuan tentang seni dan musik negara Korea.

Model Vee dari Harold Klassen
Model “Vee” Klassen[15] mengacu pada rumusan kerangka narasi besar Creation, Fall, Redemption, and consummation (CFRC)[16]. Klassen menggambarkan integrasi sebagai garis yang mula-mula menaik dalam karya ciptaan Allah, kemudian membentuk huruf Vee disebabkan jatuhnya manusia dalam dosa, yang kemudian dipulihkan dalam kasih Allah dalam karya penebusan Yesus Kristus. Arah horisontal semakin menaik karena penebusan dan penggenapan rencana Allah pada hidup manusia.
Model “Vee” Klassen memberikan kerangka integrasi praktis dalam pembelajaran sesuai dengan grandstory CFRC. Klassen membukukannya dalam visual valet yang merupakan bantuan personal bagi guru dan pemikir Kristen. Model ini memberikan panduan dalam bentuk tanya jawab  reflection, distortion, revelations, dan application untuk memandu mata pelajaran terpadu dengan Biblical integration.

Model Fase Integrasi
Selama interaksi tim pengembangan kurikulum pendidikan Kristen dalam berproses untuk menggarap perangkat kurikulum bagi pelayanan sekolah Kristen IPEKA, pelaksanaan integrasi Alkitab  dalam setiap subjek pelajaran di sekolah Kristen meliputi tiga fase.
Fase pemahaman integrasi, fase ini berupa penjajakan, awal pemahaman para pendidik Kristen tentang kurikululum sekolah kristen yang tidak lain adalah sekolah Kristen harus mengintegrasikan kebenaran firman Tuhan dalam setiap subjek pelajaran. Dalam tahapan ini proses pembelajaran untuk memahami esensi pendidikan Kristen terjadi, interaksi dan diskusi dari para pengembang kurikulum sering berlangsung tidak lancar, sampai akhirnya mereka menemukan prinsip dan konsep tentang filsafat pendidikan Kristen yang sesuai untuk mendasari implemetasi di sekolah. Pemahaman yang mendasar tentang worldview, prolegomena, grandstory CFRC, Christian nurturing, wisdom by design, Christian formation, enkapsis  dan konsep inti lainnya dalam pendidikan Kristen merupakan istilah yang lebih familiar. Pada tahapan ini tidak semua guru memiliki pemahaman yang sama tentang kurikulum berbasis Alkitab. Para pemimpin membutuhkan perhatian untuk melakukan pelatihan bagi guru-guru. Pelatihan ini memotivasi guru -guru untuk memiliki pemahaman dan kerinduan mengimplementasikan di dalam kelas, termasuk didalamnya penamaan program dari implementasi ini
Fase awal implementasi integrasi, fase ini ditandai dengan uji coba implementasi administrasi dan metode yang akan digunakan dalam proses pembelajaran yang berbentuk keseluruhan atau berbentuk rujukan permata pelajaran. Pada dasarnya implementasi dapat berupa Kurikulum berbasis Alkitab secara keseluruhan atau produk referensi Alkitab yang mendampingi setiap mata pelajaran dengan prinsip-prinsip Alkitab berbentuk Biblically Integrated. Implementasi dari fase ini berkaitan dengan diskusi tentang pelaksanaan keefektifan di dalam kelas. Pendampingan implementasi merupakan kunci keberhasilan di dalam kelas, termasuk pembuatan buku-buku konsep integrasi (filsafat pendidikan Kristen), modul pelatihan, jurnal pendidikan Kristen termasuk penyusunan buku-buku pelajaran untuk murid dari perspketif Kristen. Silang pendapat, diskusi serta perubahan beberapa administrasi  implementasi kurikulum terjadi, beberapa diantaranya pendampingan yang hanya menempelkan penggunaan ayat alkitab dalam kolom integrasi Alkitab di silabus, penggunaan jurnal murid dalam implementasi pembelajaran, termasuk nama atribut, dan seberapa jauh konsep-konsep pembelajaran yang perlu diimplementasikan.
Fase implementasi integrasi, fase ini ditandai dengan implementasi metode, administrasi dan evaluasi yang digunakan untuk memperbaiki proses pembelajaran dari perspektif Kristen. Implementasi dari fase ini berkaitan berlangsungnya pelatihan guru dengan pola dan materi yang sudah disesuaikan agar dapat digunakan di dalam kelas. Guru-guru memiliki kerinduan yang sama dalam pelayanan memenangkan anak bagi Tuhan dalam proses akademik yang unggul. Integrasi Alkitab memberikan pengetahuan, membentuk pola pikir murid dalam segala kehidupannya dalam perspektif Kristen. Implementasi sudah mencakup keseluruhan proses pendidikan dengan berbagai perangkat pembinaan dan pembimbingan pada anak. Integrasi Alkitab diberlakukan lebih lagi, dengan memuridkan setiap pimpinan sekolah adalah pemimpin dalam kurikulum berbasis Alkitab. Setiap pemimpin pendidikan adalah kurikulum yang hidup dan dibenarkan dalam firman Tuhan.

Penutup
Segala sesuatu dalam sekolah Kristen harus berdasarkan pada Alkitab. Tujuan, perencanaan, materi pembelajaran, proses pembelajaran, penilaian yang berasal dari sumber lainnya harus dievaluasi melalui kebenaran Alkitab. Setiap guru Kristen sudah seharusnya mengambil bagian untuk mengintegrasikan setiap proses pembelajarannya dengan cara berpikir Kristen, sebagai bagian dari misi kehidupan barunya. Filsafat pendidikan Kristen memandu proses pembelajaran yang mengungkapkan rencana Allah dalam setiap kehidupan murid dan pendidik di sekolah. Integrasi Alkitab dalam subjek pelajaran merupakan karakteristik “vital distinction” yang membedakan dari proses pendidikan umumnya. Implementasi yang segera dan penting dilakukan bagi sekolah Kristen untuk menjalankan misi mandat injili dan mandat budaya.


[1] Integrasi berasal dari kata latin “integritas” yang berarti keutuhan, kelengkapan, keseluruhan.
[2] www.virtualsalt.com/int/intdef.pdfIntegrasi
[3] Paul A Kienel, Gibbs Ollie E. and Berry Sharon E. editors, Philosophy of Christian School Education, (Colorado: ACSI publisher, 1982), hlm.315
[4]  Gaebelein (Colorado Springs: Association of Christian Schools International, 2002), hlm. 9
[5]   ibid., hlm 7.
[6] www.bjupress.com/images/pdfs/bible-integration.pdf 
[7] Relegating = mengasingkan, mengisolasikan
[8] Wilhoit, James C., Christian Education and the Search for Meaning, 2nd edition (Grand Rapids, MI: Baker Book House, 1991), hlm. 9-11.
[9]  John Henry Cardinal Newman, The Idea of a University, (London, 1901), hlm.70
[10] Teachable moment adalah penggunaan situasi sebagai sarana memberikan Firman Tuhan. Ketika Nikodemus datang pada Tuhan Yesus, Ia mengajarkan kelahiran baru
[11]  Martha Maccullough, Developing a Worldview Approach to Biblical Integration (Philadelphia: Philadelphia Biblical University School of Education, 2008)
[12]    Harro Van Brummelen (1942-2014) Penulis buku kurikulum Kristen seperti Steppingstones to curriculum: A Biblical Path, Walking with God in the classroom: the Christian Approach to Teaching and Learning.
[13]    Kenneth S. Colley, The Helmsman Leading with Courage and Wisdom, (Colorado Springs: Purposeful Design Publication, 2006), hlm 81
[14]    Allan A. Glatthorn, Differentiated Supervision (Alexandria, VA: Association for Supervision and Curriculum Development, 1984), hlm. 78-79
[15]    www.transformingteachers.org
[16]  Dalam ”Vee” Klassen menggunakan kata consummation dengan fulfillment